Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia seharusnya tidak terperanjat mendengar penundaan tersebut. Bukankah IMF pernah mempertanyakan putusan pengadilan yang membebaskan Joko Tjandra, salah satu pelaku utama skandal Bank Bali? Lalu, bukankah John Dodsworth, pejabat perwakilan IMF di Indonesia, terang-terangan mengecam lambannya reformasi ekonomi di negeri ini? Dia menyebutkan restrukturisasi utang swasta yang belum memperlihatkan kemajuan berarti, begitu pula tiadanya sanksi untuk debitur bermasalah, dan tak rampung-rampungnya rekapitalisasi perbankan. Patokan Dodsworth adalah program dan jadwal dalam letter of intent (LoI) yang ditandatangani 20 Januari silam.
Tak bisa dimungkiri, semua program yang dikemukakan Dodsworth merupakan masalah berat yang tidak mungkin diatasi dalam waktu singkat. Saat LoI ditandatangani, tentulah pejabat tinggi Indonesiadalam hal ini Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Ekuin), Menteri Keuangan, dan Gubernur Bank Indonesiamenyadari ketidakmungkinan itu. Jadi, time table dalam LoI semestinya dirundingkan dulu habis-habisan, hingga tidak ada satu pun kesepakatan yang dibuat kelak menimbulkan keragu-raguan IMF terhadap Indonesia, seperti yang terjadi sekarang. Singkat kata, LoI seharusnya tidak ditandatangani dengan mata tertutup seraya mengharapkan semua masalah begitu saja akan teratasi ketika IMF mencairkan pinjaman lunaknya pada Indonesia. Bahkan, kita cenderung menduga bahwa tim Ekuin bersikap anggap enteng dan langsung saja teken.
Kalau benar begitu, sikap lugas IMF sangat bisa dipahami. Bahwa Gus Dur berang, itu pun tidak berlebihan. Presiden yang kurang akrab dengan masalah ekonomi ini bahkan memutuskan akan memimpin langsung review atas pelaksanaan LoI. Presiden agaknya merasa, dalam upaya menyukseskan pemulihan ekonomi, ia tidak lagi dapat mengandalkan tim Ekuin semata-mata. Tapi, kalau bukan tim Ekuin, lalu siapa? Jawabnya, barangkali, sebuah tim Ekuin yang lain, yang lebih mampu; kalau perlu, tim yang piawai melayani para pendekar bisnis di lapangan. Mereka tidak harus sekaliber Robert Rubin dan Alan Greenspan, tapi juga tidak kalah dibandingkan dengan tim Ekuin-nya Perdana Menteri Thailand, Chuan Lek-pai.
Kita memantau bagaimana Thailand menerapkan LoI yang dibuat bersama IMF dengan baik, berhasil lepas dari jerat krisis, dan sekarang merintis pemulihan ekonomi. Kalau dulu kita puas dengan alasan bahwa Indonesia tertinggal dari Thailand karena negeri ini tidak memiliki seorang "Mr. Clean" seperti Chuan Lek-pai, sekarang alasan itu gugur, tak berlaku. Soalnya, kita memiliki Gus Dur yang bekas Ketua Nahdlatul Ulama, kiai yang luas wawasannya, dan "Mr. Clean" dalam pengertian sesungguhnya. Gus Dur sendiri tentu tidak happy kalau untuk menelikung debitur busuk, Indonesia harus meminjam tangan IMF; untuk merestrukturisasi utang swasta, meminjam lagi tangan IMF; juga untuk membersihkan Pertamina atau menyukseskan masuk bursanya BCA, dan seterusnya. Lebih dari sebelumnya, saat ini seluruh bangsa ingin diyakinkan bahwa elite pemimpin mereka bukanlah kacung IMF, bukan kacung koruptor, juga bukan kacung konglomerat. Jadi, tolonglah buktikan bahwa keyakinan mereka itu sangat pantas untuk dibela dan dipertahankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo