Dalam tempo dua kali 24 jam, karyawan Bank Indonesia (BI)—ke dalamnya termasuk dua deputi gubernur dan 12 direktur—berubah sikap. Mereka, yang pada mulanya menentang Aulia Pohan sebagai deputi gubernur BI, belakangan bersedia menerima, terutama setelah Gubernur BI Syahril Sabirin menjamin tidak akan ada lagi ancaman pemecatan, baik kepada direktur maupun karyawan di bawahnya. Seperti diketahui, untuk mengisi kursi seorang deputi gubernur BI—yang akan ditinggalkan Iwan Prawiranata—Syahril Sabirin mengajukan tiga calon pengganti ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yakni Aulia Pohan, Burhanuddin Abdullah, dan Cyrillius Harinowo.
Ketika Komisi IX DPR menjatuhkan pilihan pada Aulia Pohan, terdengar selentingan bahwa pilihan itu diwarnai oleh kepentingan salah satu partai politik yang dominan dalam komisi tersebut. Tudingan semacam ini sudah lumrah pada masa demam demokrasi kini, tapi para wakil rakyat tentu tidak bisa menafikannya begitu saja. Dalam sidang paripurna DPR pekan lalu, pilihan terhadap Aulia Pohan ternyata tidak berubah, bahkan tokoh kontroversial ini memperoleh suara mayoritas. Nah, sikap antipati terhadap Aulia memuncak, tiba-tiba. Tanpa mempertimbangkan derajat kewenangan lembaga legislatif seperti DPR, sejumlah karyawan secara resmi menyampaikan penolakan mereka ke DPR, bahkan meminta agar tidak mendukung ketiga calon tersebut. Alasannya karena proses seleksi di DPR telah diintervensi oleh salah satu partai politik. Lalu, dengan gagah para wakil karyawan BI itu menyebutkan aksi penolakan itu sebagai gerakan moral.
Sepintas, manuver yang menyebut dirinya "gerakan moral" ini terkesan kocak, komikal. Bagaimana dari sebuah "sarang penyamun" bisa muncul sebuah gerakan moral? Lagi pula, masalah bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) belum jelas duduk perkaranya, dan BI sendiri masih dalam proses audit investigasi oleh BPK. Ada sekitar Rp 80 triliun BLBI yang belum jelas pertanggungjawabannya. Dan bagi masyarakat, jumlah itu merupakan indikator rendahnya tingkat moralitas di bank sentral. Anehnya, orang-orang BI tidak terdorong untuk melakukan introspeksi dan becermin diri.
Selain itu, apabila para karyawan tidak setuju pada tiga calon yang diajukan BI, termasuk Aulia, seharusnya penolakan mereka dinyatakan sejak awal, dan bukan setelah DPR mengambil keputusan. Tampaknya mereka tidak tahu bahwa pemilihan kepala desa pun tidak mungkin dimentahkan begitu saja, konon pula pemilihan yang melibatkan para wakil rakyat di DPR.
Kasus Aulia Pohan sedikit banyak merefleksikan ketidaksiapan BI—baik personel maupun organisasi—untuk mandiri. Kasus ini juga menyiratkan setidaknya ada friksi dalam tubuh BI, dan gejala ini bisa membawa pengaruh negatif pada kinerja bank sentral pada masa depan yang dekat. Perselisihan untuk menentukan pemimpin di tingkat puncak juga menunjukkan bahwa jabatan penting itu diperebutkan sedemikian rupa, sehingga kelemahan pada pihak-pihak yang bertentangan terbongkar ke masyarakat. Dalam konteks inilah kita diharapkan dapat memahami mengapa tiba-tiba ada ribut-ribut soal Indover, Pura, dan Peruri.
Mengetahui kasus Aulia, masyarakat tak bisa lain kecuali prihatin. BI, yang seharusnya steril dari berbagai kepentingan—finansial, politik, atau primordial—ternyata masih begitu sarat dengan virus kebobrokan moral. Dengan statusnya yang mandiri dan karena itu tidak bisa diintervensi oleh kekuatan mana pun dari luar, BI seharusnya menunjukkan integritas yang utuh dan kualitas personalia yang prima. Kedua prasyarat ini belum terlihat sampai kini. Bahkan, kasus Aulia Pohan mengisyaratkan bahwa BI masih tetap yang dulu, BI yang sarang penyamun itu. Lalu, salahkah kalau ada yang mengusulkan agar BI dibubarkan saja dan diganti dengan yang baru?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini