Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CENTANG perenang tata kelola hingga pengawasan industri dana pensiun berpotensi menjadi bom waktu jika permasalahan tersebut tidak segera dibenahi. Tidak hanya menimbulkan kerugian negara, hak jutaan nasabah untuk menikmati hari tua dari gaji yang disisihkan juga bisa lenyap akibat amburadulnya pengelolaan dan buruknya pengawasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tumpukan persoalan di industri dana pensiun disebabkan oleh sejumlah faktor, dari kelalaian pendiri, rendahnya kualitas sumber daya manusia, tata kelola investasi yang tidak berjalan optimal, hingga tunggakan pembayaran iuran akibat tak lancarnya pembayaran oleh pemberi kerja. Adapun untuk dana pensiun badan usaha milik negara (BUMN), masalah utamanya adalah dugaan korupsi yang melibatkan pengelola dan kroni bisnis perusahaan pelat merah tersebut. Sebut saja kasus asuransi Jiwasraya dan Asabri yang merugi hingga Rp 40 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 31 Agustus 2023, terdapat 198 dana pensiun. Sebanyak 138 di antaranya merupakan dana pensiun pemberi kerja program pensiun manfaat pasti, 36 dana pensiun pemberi kerja program pensiun iuran pasti, dan 24 dana pensiun lembaga keuangan. Dari jumlah itu, sebanyak 12 perusahaan dikategorikan dalam pemantauan khusus akibat kinerja keuangan yang merosot. Adapun jumlah tunggakan iuran mencapai Rp 3,6 triliun dan angkanya berpotensi terus bertambah.
Titik lemah utama yang menyebabkan bobroknya industri dana pensiun adalah pengawasan yang bermasalah. Kontrol pengelolaan dana pensiun cenderung ala kadarnya, baik oleh OJK selaku regulator maupun nasabah. Kasus Jiwasraya, yang membelit Kepala Departemen Pengawasan Pasar Modal OJK sebagai tersangka Kejaksaan Agung karena kelalaian pengawasan, tidak menjadi bahan untuk berbenah. OJK seharusnya memperketat protokol pengawasan dan pembenahan sistem deteksi dini terhadap adanya fraud di industri keuangan.
Perlu langkah tegas dan konkret untuk membereskan sengkarut dana pensiun ini. Tindakan Menteri Badan Usaha Milik Negara melaporkan empat dana pensiun pelat merah kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) belum cukup. Empat entitas itu merupakan bagian dari 12 dana pensiun yang saat ini mendapatkan pengawasan khusus dari OJK. Persoalan yang membelit keempat dana pensiun itu diperkirakan mengakibatkan kerugian Rp 300 miliar dan dua di antaranya terindikasi tindak pidana korupsi.
Bisa jadi apa yang menimpa empat dana pensiun BUMN yang dilaporkan ke BPKP itu merupakan fenomena gunung es. Artinya, tak tertutup kemungkinan banyak dana pensiun, baik milik negara maupun swasta, yang bernasib sama. Apalagi Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan 70 dana pensiun BUMN bermasalah. Sebagian besar penyakitnya sama: penempatan dana secara serampangan ke produk-produk investasi berisiko tinggi dan kesalahan pengelolaan keuangan. Ujungnya, dana pensiun menjadi bancakan pengelola dan kroninya.
OJK harus segera memperketat protokol pengawasan dan pembenahan sistem deteksi dini, terutama menyangkut penempatan dana pensiun dalam bentuk investasi. Dana pensiun tidak boleh lagi dikelola seperti memperlakukan serampangan. Penempatan dana pensiun mesti dipantau secara berkala. Jadi, ketika investasi terindikasi masuk kategori berisiko tinggi, kita bisa menghalaunya.
Kebijakan Kementerian BUMN untuk memusatkan pengelolaan dana pensiun perlu didukung. Namun sebaiknya rencana konsolidasi pengelolaan dana pensiun BUMN tidak menggunakan kendaraan Indonesia Finansial Group atau holding BUMN sektor keuangan nonbank. Kementerian BUMN seharusnya memakai BPJS Ketenagakerjaan sebagai induk dana pensiun BUMN. Ini sejalan dengan aturan pemerintah yang mewajibkan semua perusahaan mendaftarkan seluruh karyawannya sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo