Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bukan biografi, tapi sejarah

Pemikiran st takdir alisjahbana dianggap melupakan "kepribadian nasional" harus dilihat dari pendekatan sejarah. ia sebenarnya penganut kosmopolitanisme yang merupakan pantulan modern sejarah negara kita.

20 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI saat kekecewaan politik terhadap kolonialisme telah makin menghilangkan kepercayaan terhadap keampuhan budaya Barat, Sutan Takdir Alisjahbana tampil mengatakan, betapa perlunya diperkembangkan segala "noda Barat" itu: "materialisme, mdividualisme, rasionalisme". Ia tak pernah beranjak dari sikap ini. Jika beralih, ia hanya mempertajam. Maka, S.T.A. pun dianggap sebagai orang yang melupakan "kepribadian nasional". Di kalangan terpelajar ia bahkan dirasakan agak membosankan. Bukankah tema pokok yang dikatakannya tak berubah? Kalau kita memakai pendekatan biografi, kesan selintas ini tentu bisa diperdebatkan. Tetapi bagaimanakah jika ia dilihat dengan pendekatan historis? Biografi melihat seseorang dalam kediriannya, sedangkan sejarah ingin melihatnya dalam konteks dinamika masyarakat. Dengan pendekatan sejarah, kita akan mendapatkan S.T.A. yang lain. Ia bukanlah tokoh pinggiran, yang kehadirannya dirasakan "aneh", tetapi sepenuhnya berada dalam "aliran besar" sejarah kita. Ia tak terlepas dari tradisi kebudayaan kita. Begini. Soalnya, S.T.A. mungkin terpukau pada cita-cita yang terpancar dari periode renaisans Eropa. Tetapi ia sebenarnya seorang penganut kosmopolitanisme, yang mengaburkan batas-batas politik dan sebagainya dalam wawasan kultural (Bukankah manusia ideal dari renaisans adalah "manusia universal", dalam pengertian wawasan dan kemampuan?). Dari sudut kosmopolitanisme inilah S.T.A. sesungguhnya merupakan pantulan modern dari tradisi sejarah tanah air kita. Sebab, kecenderungan kultural yang kosmopolitan adalah bagian "aliran utama" sejarah kita. Mula-mula orientasi kosmopolitanisme itu dibentuk oleh cita kenegaraan yang diberikan India, kemudian agama dan etos dagang dari para pendatang Islam. Dan selanjutnya? Ketika pengaruh dan kekuasaan ekonomi dan politik Barat telah makin dominan, maka siapa pun tahu bahwa cita kosmopolitanisme itu makin diwarnai Barat. Kalaupun bukan hendak ditiru, setidaknya Barat tampil sebagai referensi, sebagai perbandingan. Demikian di Tiongkok, begitu pula diJepang, dan tak berbeda halnya dengan "modernisme Islam". Sejak ia mulai tampil, S.T.A., yang melihat dirinya sebagai pejuang kebudayaan, menjadikan "komunitas nasional" sebagai pentas perjuangannya. Dengan tegas ia mengatakan bahwa ia tak memerlukan segala tetek bengek yang "pra-Indonesia". Baginya "Indonesia" bukanlah cita-cita, tetapi suatu realitas. Dari konteks yang serba nasional dan serba Indonesia inilah ia mulai bergerak - lebih dari 50 tahun yang lalu. Tetapi apakah ini bcrarti ia antisejarah? Dalam hal inilah kita harus melihat pula proses pertumbuhan komunitas nasional yang bernama Indonesia ini. Dari pengenalan akan proses ini, akhirnya kita akan sampai juga pada suatu kesimpulan bahwa landasan kultural "komunitas nasional" ini terdiri atas dua unsur yang komplementer dan sekaligus kompetitif. Unsur pertama ialah "kebudayaan bazaar", yang kosmopolitan itu. Dalam suasana kultural ini pergaulan pasar menemukan simbol-simbol yang "dinikmati" bersama. Tak peduli sumbernya. Yang penting simbol tersebut telah memenuhi fungsinya komunikasi telah dimungkinkan dan suatu komunitas mulai terbentuk . Unsur kedua ialah "misi-misi budaya" yang berasal dari berbagai budaya daerah (apa pun batasannya dalam pengertian akademis). Kalau dalam suasana "kebudayaan bazaar", simbol-simbol tersedia lewat pergaulan yang "internasional", kebudayaan-kebudayaabn daerah menjadikan komunitas nasional sebagai "bazaar kebudayaan", yang "menjajakan" berbagai pilihan simbol. Manakah yang akan berhasil menjadi bagian dari kehidupan kultural "komunitas nasional" ? Secara ideologis, unsur kedua, yang berasal dari daerah-daerah, telah dirumuskan sebagai "kepribadian nasional". Sedangkan unsur pertama, yang kosmopolitan, tersingkir dalam perumusan ideologi resmi, betapapun unsur ini tetap dinamis dalam kehidupan bangsa. Maka, jika S.T.A. tampil dengan berani mengibarkan panji kosmopolitannya - kini telah makin universal, tak lagi sekadar "Barat" - ia mungkin menggugah kemantapan ideologi kebudayaan yang resmi. Tetapi ia tidak mengada-ada. Ia merumuskan secara eksplisit salah satu aliran utama dari kebudayaan nasional dan menjadikannya secara fungsional lebih berperan. Dan mengapa tidak, bukankah bagi S.T.A. Indonesia adalah warga dunia yang sah? Sebagai gejala historis, perjuangan S.T.A. yang tanpa lelah dan selalu tegar itu bukan saja memperlihatkan salah satu-tema dari "aliran utama" sejarah kita, tetapi juga ketegangan menetap antara perumusan resmi dari realitas, dan realitas sebagaimana adanya. Maka, herankah kita kalau S.T.A. selalu pula tampil dengan segala macam konsep "krisis" ? Ia tak hentinya terlibat dalam situasi dialog. Dan krisis adalah unsur yang biasa dalam situasi dialog.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus