Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RASANYA tak berlebihan kalau ada yang mengibaratkan kita seperti berada di negeri kaum Taliban. Ketika mereka menang perang di Afganistan, belum satu dasawarsa silam, kelompok itu meruntuhkan patung Buddha terbesar di daerah Bamyan. Saat itu kita barangkali cukup geleng-geleng kepala, tak perlu khawatir pengaruh buruk itu akan sampai ke Tanah Air.
Namun, jika menyimak aksi menonjolkan identitas agama yang belakangan kian kasar, dan cenderung anarkistis, tampaknya pengaruh kekerasan mereka terasa kuat di sini. Makna syiar dan nahi munkar, atau mencegah perbuatan buruk, yang disalahpahami, malah berubah menjadi aksi memaksakan kehendak yang meresahkan-meski dalam skala lebih kecil.
Rencana pemindahan patung Buddha, Amitabha, di Vihara Tri Ratna, Tanjung Balai, Sumatera Utara, sekadar contoh. Beberapa organisasi Islam mendesak agar sosok Amitabha yang kelihatan mencolok itu dipindahkan, karena ia bukan aspirasi mayoritas masyarakat di Kota Tanjung Balai. Kelompok penekan yang telah aktif memaksakan pendapatnya itu akhirnya berhasil mendesakkan sebuah kesepakatan bersama yang melibatkan wali kota, pengurus vihara, dan kelompok penekan.
Keputusan ini jelas mencederai toleransi beragama di negeri ini. Yang patut kita sesalkan, semua petinggi di Tanjung Balai dilanda ketakutan jika aspirasi semu itu tak dipenuhi. Mereka seperti lupa bahwa kita sedang berada di negara berdasar Pancasila dengan konstitusi yang tegas menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan tanpa boleh ada gangguan dan ancaman dari siapa pun. Pemaksaan kehendak macam ini justru harus dilawan dengan dialog sehat, plus keberanian semua aparat jika mereka sampai mengancam dengan kekerasan.
Mereka pun kini mengusik pertunjukan wayang kulit. Di Sukoharjo, Jawa Tengah, sekelompok orang bersorban menghampiri kerumunan orang yang tengah asyik menonton pertunjukan wayang yang digelar di pekarangan rumah seorang warga Desa Sembung Wetan. Selain melempari penonton, sebagian dari mereka-yang mengaku dari Laskar Jihad-mengacung-acungkan pedang sambil bertakbir. Dalam sekejap pertunjukan pun bubar.
Padahal, dalam sejarah Islam di Nusantara, agama dan wayang adalah dua hal yang sukar dipisahkan. Siapa pun tahu-kelompok penyerang seharusnya juga tahu-bahwa wayang justru dijadikan medium efektif oleh Sunan Kalijaga untuk menyebarkan Islam. Kalijaga, bersama delapan sunan penyebar Islam permulaan di Jawa, dikenal dengan Wali Sanga, diyakini sukses melakukan akulturasi tradisi lokal dengan ajaran dari negeri seberang. Para penyerang itu telah berusaha membuang elemen budaya lokal yang sesungguhnya merupakan buah kreativitas Wali Sanga dalam berdakwah.
Agresivitas kelompok radikal yang semakin meningkat belakangan ini harus dihentikan. Mereka tak boleh lagi menyerang aset dan pemeluk kelompok Ahmadiyah, menurunkan paksa patung dengan dalih apa pun, menyerang rencana pendirian gereja, bahkan membubarkan pertunjukan wayang kulit. Terhadap tindakan brutal atas nama agama ini, tumpuan akhirnya tertuju pada pihak keamanan. Aparat harus bertindak lebih tegas demi menimbulkan efek jera dan mengukuhkan hubungan harmonis di antara pemeluk agama.
Kepada para tokoh dan aktivis gerakan radikal itu harus dibuka kontak untuk terus berdialog secara sehat. Mereka perlu dibukakan kesempatan untuk mendengar pandangan yang lebih toleran terhadap agama lain. Mereka kudu disadarkan terus-menerus bahwa kita tengah berada di negeri yang sangat toleran dalam memandang perbedaan beragama dan berkeyakinan. Bukan di negeri kaum Taliban, sebagaimana dikhawatirkan banyak orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo