Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELAKANGAN ini unjuk rasa makin ramai saja. Peringatan setahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pekan lalu, misalnya, dirayakan dengan berbagai unjuk rasa di banyak kota besar negeri ini. Umumnya unjuk rasa berlangsung riuh dan damai, tapi ada juga yang berakhir rusuh. Bahkan di Jakarta seorang mahasiswa tertembak kakinya setelah sempat berbaku hantam dengan polisi.
Penembakan itu jelas disesalkan, dan pelakunya wajib diproses hukum. Masyarakat perlu mendapat informasi terang-benderang mengenai insiden ini. Agar jelas duduk perkaranya: mengapa pelaksanaan hak politik rakyat berbuntut benturan dengan tugas polisi menjaga ketertiban, dan berakhir dengan penembakan yang melukai.
Kejelasan ini diperlukan karena pemerintah berkewajiban menjaga keseimbangan di antara berbagai hak dasar warga negara. Dalam perkara unjuk rasa, hak rakyat menjalankannya harus sejalan dengan hak warga yang lain untuk mendapatkan rasa aman. Di lapangan, tugas polisi memastikan keduanya berlangsung bersamaan.
Untuk mencapai keseimbangan inilah aturan main disusun. Undang-undang telah menjamin bahwa siapa pun berhak melakukan aksi unjuk rasa hanya dengan syarat memberi tahu polisi sehari sebelumnya, dan dengan mencantumkan jumlah peserta dan penanggung jawabnya. Ini membuat polisi cukup waktu untuk mempersiapkan pengamanan dan mengetahui siapa yang perlu dihubungi untuk mengatur kelancaran unjuk rasa tersebut.
Aturan ini dibuat untuk menjaga agar unjuk rasa tak berubah menjadi unjuk kekerasan. Sudah kerap terjadi aksi damai berubah rusuh karena ulah segelintir provokator, yang mungkin saja malah berasal dari pihak yang berseberangan. Itu sebabnya, di negara demokratis yang sudah mapan, panitia pelaksana aksi sering membentuk satuan khusus untuk menangkal ulah para provokator.
Sebaliknya, polisi di negara demokratis wajib memiliki keterampilan mencegah unjuk rasa menjadi unjuk kekerasan, dengan tetap menghormati hak asasi manusia. Kalaupun segelintir kelompok anarkis melakukan provokasi, polisi dilatih mampu melokalisasi dan memadamkannya tanpa menumpahkan darah. Kanon air, gas air mata, tameng, dan peluru karet merupakan perlengkapan standar untuk melakukan tugas ini. Kamera pemantau juga ampuh menetralkan para provokator dengan mengidentifikasi kegiatan mereka. Maklum, pelakunya biasanya masuk kategori L4 alias ”lu lagi lu lagi”.
Penembakan mahasiswa di Jakarta menunjukkan pemerintah masih perlu membenahi kemampuan polisi. Pendidikan tentang bagaimana melakukan hak demokratis secara beradab juga perlu dilakukan. Masyarakat Indonesia yang sedang menumbuhkan demokrasi memang dituntut semakin berkemampuan dalam membedakan upaya menyuarakan pendapat sebagai hak politik dengan perilaku kekerasan yang masuk kategori kriminal.
Polisi hendaklah menjadi pelopor dalam melakukan pembedaan ini. Gerakan orang-orang bersenjata, misalnya, harus ditindak sejak dini kendati berkilah ingin melakukan unjuk rasa atau membersihkan tempat mesum. Sebaliknya, kumpulan pemrotes damai wajib dilindungi, terutama dari serangan para preman yang mungkin dibayar oleh pihak yang menjadi sasaran unjuk rasa.
Bila hal ini dilakukan, rencana kegiatan unjuk rasa tak perlu lagi dihadapi dengan rasa cemas, betapapun besarnya jumlah peserta. Bahkan, seperti beberapa kali berlangsung di Bali, kegiatan ini menjadi daya tarik pariwisata karena dilaksanakan bak karnaval dengan berbagai ornamen menarik. Tujuan unjuk rasa di masyarakat demokratis adalah menarik simpati orang ramai, bukan menunjukkan kekuatan, apalagi menerbitkan rasa takut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo