Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPA pun yang menghalangi kebebasan pers-termasuk Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar-sangat pantas dihukum maksimal. Ancaman Undang-Undang Nomor 40/1999 untuk penghalang kebebasan pers seharusnya berlaku bagi semua pihak yang "bergerilya" mencegah dan membantu mencegah penayangan program Sigi-tentang bisnis prostitusi di penjara oleh stasiun televisi SCTV. Pencegahan tayang ini sesungguhnya mencederai konstitusi, yang menjamin kebebasan pers.
Menteri Hukum rupanya punya "standar ganda" dalam menilai kritik, termasuk dari program seperti Sigi. Dua tahun lalu, Sigi menayangkan nasib terpidana mati bom Bali di Penjara Batu, Nusakambangan. Karena itu, Menteri Hukum Andi Mattalatta, yang menjabat ketika itu, menganugerahkan penghargaan sebagai program terbaik pemberitaan hukum dan hak asasi manusia. Sekarang tayangan "Bisnis Seks di balik Jeruji Penjara" mendapat "hadiah" cegah-tayang pada masa Menteri Patrialis Akbar menjabat.
Patrialis sulit melepas tanggung jawab. Tayangan yang mestinya mengudara pada Rabu pekan lalu itu terganjang setelah tim Sigi mewawancarai sang menteri sehari sebelumnya. Bukti adanya intervensi terlihat gamblang. Seorang staf kementerian itu gigih menghubungi redaksi Sigi. Dia menelepon, mengirimkan pesan pendek, dan menemui Pemimpin Redaksi Liputan 6 SCTV Don Bosco Selamun. Mengaku diperintah Patrialis, sang utusan meminta rekaman program yang hendak ditayangkan.
Don Bosco, dalam keterangannya di Dewan Pers, mengaku menolak permintaan itu. Toh, program tak muncul juga sesuai jadwal. Sumber di stasiun televisi itu menyebutkan, Direktur Utama SCTV Fofo Sariaatmadja menelepon Don pada saat-saat terakhir. Cerita ini masih harus ditelusuri kebenarannya, karena Fofo membantah.
Ketika pers sudah dijamin kemerdekaannya oleh konstitusi dan undang-undang, cara kasar untuk menyensor agaknya tak lantas menjadi sejarah. Belum tertutup peluang untuk melakukannya. Apalagi jika model kepemilikan perusahaan persnya tak melibatkan publik, dan karenanya membuka ruang bagi adanya intervensi-oleh pihak luar melalui pemilik modal, atau oleh pemilik modal untuk kepentingannya sendiri.
Yang barangkali belum mengendap di memori orang ramai adalah adanya sanksi pidana untuk tindakan melawan pelaksanaan kebebasan pers. Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Pers menyebutkan hukuman maksimal dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta. Tentu saja, hukuman ini berlaku bagi siapa pun, termasuk menteri, jika terbukti berusaha menyensor, membredel, atau melarang disiarkannya suatu berita.
Pembuktian terjadinya intervensi-dilakukan Dewan Pers atas laporan Aliansi Jurnalis Independen-diharapkan secepatnya selesai. Kita tak ingin kasus ini terlipat urusan satu dan lainnya dan kemudian dilupakan penegak hukum, seperti banyak kasus di Republik ini.
Menteri Patrialis juga sebaiknya tak hanya menyanggah lalu lepas tangan begitu saja, seolah-olah otomatis bebas dari syak wasangka. Untuk membuktikan bahwa intervensi yang mengatasnamakannya adalah-mengutip kata-katanya-"seribu persen fitnah", lebih baik dia menunjukkan bukti yang lebih meyakinkan. Tanpa itu, sesungguhnya dia berkelit di atas pijakan yang goyah, dan orang ramai tetap beranggapan bahwa dia memang mau mengambil untung dari upaya memberangus tayangan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo