Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
OTORITAS Jasa Keuangan mengumumkan akan membuka bursa karbon pada September 2023. Ini pengumuman yang cukup berani mengingat infrastruktur perdagangan karbon di Indonesia belum siap. Bursa karbon adalah mekanisme pasar yang mempertemukan penjual jasa penyerapan emisi dengan pembeli yang memproduksi gas rumah kaca. Dengan disinsentif bagi produsen emisi itu, gas rumah kaca pemicu pemanasan global diharapkan berkurang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, untuk menciptakan transaksi, perlu lembaga independen yang menghitung penyerapan dan produksi emisi sehingga perdagangan karbon berjalan secara adil berdasarkan kesepakatan penjual dan pembeli. Penghitungan karbon juga memerlukan metodologi yang disepakati kedua belah pihak. Di pasar karbon sukarela ada banyak metodologi yang sudah berlaku secara global, tapi pemerintah Indonesia belum mengumumkan metode mana yang akan dipakai sebagai dasar penghitungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejauh ini, dari kesepakatan antara OJK dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dua pekan lalu, otoritas penghitungan emisi ada di Sistem Registri Nasional di bawah KLHK. Karena itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menerbitkan sertifikat perdagangan emisi. Pada dasarnya, sertifikat inilah yang diperdagangkan di bursa karbon.
Belum lagi soal harga per unit emisi yang dihitung setara dengan ton karbon dioksida (CO2). Mekanisme pasar memungkinkan harga karbon terbentuk sebagai kesepakatan antara penjual dan pembeli. Tapi apa dasarnya? Jika mengacu pada harga karbon dalam kerja sama penurunan deforestasi antara pemerintah Indonesia dan Norwegia, tiap ton penyerapan emisi dihargai US$ 5 atau sekitar Rp 77.500. Ini harga yang relatif murah jika dibandingkan dengan harga emisi di bursa karbon Eropa yang tembus US$ 100 per ton.
Konsekuensi dari harga karbon yang murah adalah greenwashing atau pencucian dosa lingkungan para produsen emisi. Para produsen gas rumah kaca, industri berat yang menghasilkan polusi, akan terus memproduksi emisi lalu menebusnya dengan membeli jasa penyerapan atau penurunan emisi pihak lain. Walhasil, tujuan perdagangan karbon untuk mencegah krisis iklim jauh panggang dari api.
Apalagi pemerintah Indonesia menyediakan jalan keluar lain mencuci dosa lingkungan melalui pajak karbon yang murah. Dua tahun lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat menetapkan pajak karbon sebesar Rp 30 ribu per ton setara CO2. Para produsen emisi jelas akan memilih membayar pajak ketimbang mengeluarkan biaya lebih banyak dengan mekanisme yang rumit jika masuk ke bursa karbon.
Kajian Dana Moneter Internasional (IMF) pada Juni 2021 mengusulkan harga patokan emisi dalam skema mitigasi krisis iklim sebesar US$ 75 per ton. Hitungan Wood MacKenzie Energy lebih fantastis lagi. Lembaga konsultan energi bersih di Amerika Serikat ini menyebutkan harga karbon ideal yang sesuai dengan Perjanjian Paris mengurangi 45 persen emisi global agar dunia bisa mencegah pemanasan bumi 1,5 derajat Celsius adalah US$ 160 per ton.
Dengan infrastruktur perdagangan emisi yang belum siap, bursa karbon akan memicu kekisruhan baru dalam ketidakjelasan arah mitigasi krisis iklim. Apalagi kebijakan-kebijakan pemerintah melalui Undang-Undang Cipta Kerja serta Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara makin mendorong industri ekstraktif yang memicu perusakan alam, konflik sosial, dan pemanasan global.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Buru-buru Bursa Karbon"