Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN berani dan aspiratif Hakim Agung Artidjo Alkostar seakan-akan menyirami keringnya rasa keadilan lembaga yustisi kita. Bersama M.S. Lumme dan Mohammad Askin, pekan lalu, Artidjo memperberat hukuman Tommy Hindratno dan Zen Umar, dua tersangka kasus korupsi dan pencucian uang.
Melalui putusan kasasi, Mahkamah Agung menambah hukuman Tommy Hindratno, pegawai Direktorat Jenderal Pajak, dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun penjara. Zen Umar, Direktur Utama PT Terang Kita atawa PT Tranka Kabel, mendapat ganjaran 15 tahun penjara, lebih berat 10 tahun dari sebelumnya.
Putusan Artidjo cs itu seperti melawan arus membelotnya para hakim agung ke kubu koruptor belakangan ini. Setidaknya tiga hakim majelis peninjauan kembali itu menunjukkan masih ada hakim agung yang tak bisa dibeli. Tak salah bila Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Adnan Pandu Praja, misalnya, merasa mendapat kawan seperjuangan baru dalam perang melawan korupsi.
Artidjo memang punya rekam jejak antikorupsi yang jelas. Ia pernah mengajukan dissenting opinion ketika majelis hakim perkara pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir menjatuhkan hukuman 2 tahun 6 bulan penjara kepada Pollycarpus Budihari Priyanto. Belakangan, pilot pesawat Garuda itu dihukum 20 tahun penjara oleh majelis peninjauan kembali yang dipimpin Bagir Manan. Bersama empat hakim agung lain, Artidjo juga memperberat hukuman Anggodo Widjojo dari 5 tahun menjadi 10 tahun. Anggodo adalah Direktur PT Saptawahana Mulia yang didakwa menyuap penyidik dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebesar Rp 5,15 miliar.
Putusan Artidjo dkk dalam kasus Tommy dan Zen perlu dikawal ketat. Soalnya, belakangan ada kecenderungan terdakwa, terutama dari kalangan berduit, meloloskan diri melalui tahap peninjauan kembali alias PK. Sebenarnya kasasi merupakan persidangan tertinggi dalam tata hukum kita. Bila ada bukti baru yang sangat meyakinkan, barulah terdakwa bisa menempuh PK. Sekali terdakwa memenangi PK—entah karena menyuap atau bukti barunya sangat kuat—ia bebas dari hukuman dan tak bisa lagi disidangkan dengan kasus yang sama.
Kasus bebasnya terdakwa korupsi Sudjiono Timan belum lama ini merupakan satu contohnya. Pada tingkat kasasi, 2004, mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia itu dihukum 15 tahun penjara dan didenda Rp 396 miliar. Ia dinyatakan merugikan negara lebih dari Rp 2 triliun lantaran menggelontorkan dana kepada sejumlah konglomerat. Padahal semestinya duit itu untuk membina usaha kecil dan menengah. Pinjaman itu belakangan macet. Ia didakwa mengalirkan duit Bahana ke perusahaan milik sendiri. Sudjiono kabur ke luar negeri.
Keanehan mencolok terlihat dari diterimanya permohonan PK oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada April 2012. Padahal ada surat edaran Mahkamah Agung untuk menolak PK yang diminta seorang buron. Kejanggalan memuncak ketika majelis PK menyatakan Sudjiono tak melakukan korupsi, dengan dalih perkaranya masuk ranah perdata, dan mengabulkan permohonan si buron. Sudjiono dinyatakan tak bisa dipidana. Hanya Hakim Agung Sri Murwahyuni yang mengajukan dissenting opinion.
Mahkamah Agung—yang pada Juni 2012 membolehkan ahli waris buron meminta PK—mesti kembali pada larangan buron memohon PK. Selain itu, Mahkamah perlu terobosan berani, misalnya menggelar sidang PK secara terbuka. Harapan rakyat yang begitu tinggi akan hadirnya keadilan lewat tangan hakim agung seperti Artidjo dan kawan-kawan jangan sampai seketika kempis kembali.
berita terkait di halaman 48
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo