Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMBIARKAN 68 bus Transjakarta beroperasi dengan kondisi tabung gas yang diduga cacat sungguh berisiko gawat. Bus-bus itu tentu rawan meledak sehingga membahayakan keselamatan pengguna moda transportasi busway ini. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pengelola angkutan publik ini, berarti tak mengindahkan keamanan dan keselamatan penumpang, yang menjadi kewajiban utamanya.
Bus-bus itu merupakan teman seangkatan dengan sebuah bus yang meledak saat mengisi gas di stasiun pengisian bahan bakar Pinang Ranti, Jakarta Timur, 20 Oktober tahun lalu. Laboratorium Center for Materials Processing and Failure Analysis, Departemen Teknik Metalurgi dan Material Universitas Indonesia, telah mengecek bus merek Hyundai d Koridor 9 Pinang Ranti-Pluit itu. Kesimpulannya, bus meledak karena kegagalan material bagian tabung sehingga memicu retak.
Bukannya melarang bus-bus itu beroperasi dan mengecek ulang keamanan tabung gasnya, para pihak yang bertanggung jawab malah saling lempar. Polisi yang menyelidiki ledakan itu tak pernah melaporkan temuannya ke Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan PT Korindo, pemenang tender pengadaan bus-bus tersebut. Korindo, yang diminta Dinas Perhubungan menarik sementara bus-bus itu dan mengecek ulang tabung gasnya, ternyata hanya meneliti salurannya. Walhasil, sampai kini, masalah 68 bus Transjakarta yang tabung gasnya diduga cacat itu masih menggantung.
Amburadulnya penanganan bus rawan ledak itu membuktikan pemerintah DKI Jakarta belum mampu mengelola moda transportasi publik secara profesional. Sejak bus-bus Transjakarta mulai menggelinding di jalur-jalur khusus jalanan Ibu Kota, Januari 2004, masih banyak tata laksana angkutan publik ini yang kisruh. Bus terlalu penuh, jadwal tunggu tak pasti, dan jalur tidak steril, misalnya, hanya sebagian kecil dari tumpukan masalah yang jamak terdengar.
Sejak awal kelahirannya, bus Transjakarta memang tak taat asas. Gubernur DKI Jakarta sebagai penanggung jawab tertinggi tak lebih dulu membangun dasar hukum yang mengatur penyelenggaraan Transjakarta, termasuk koordinasi dengan pemerintah pusat dan instansi lain. Contoh sukses praktek penerapan moda transportasi jalur bus khusus yang diintegrasikan dengan tata kota seperti di Curitiba, Brasil, dan Bogota, Kolombia, tidak diterapkan di sini.
Publik tentu saja menjadi pihak yang paling dirugikan. Mereka tidak mendapat standar pelayanan minimal yang menjadi syarat wajib angkutan publik, yaitu keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan. Semua poin itu sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Standar tersebut tidak terpenuhi dan tak diatur dalam kontrak antara Dinas Perhubungan, Badan Layanan Umum Transjakarta, dan operator-operator bus.
Pemenuhan standar pelayanan minimal ini sepatutnya dipagari produk hukum yang lebih kuat, seperti peraturan daerah dan peraturan menteri. Dengan dasar hukum yang kuat, pemerintah DKI Jakarta bisa lebih leluasa mengawasi dan menindak operator bus Transjakarta yang nakal. Akan lebih afdal jika masyarakat pun tahu tentang hak-hak mereka atas transportasi publik.
Gubernur DKI Jakarta yang baru wajib bergegas menuntaskan pembuatan dasar hukum untuk Transjakarta yang jelas dan akuntabel. Langkah ini sangat penting sebelum pemerintah bergerak lebih maju, menyediakan moda transportasi seperti kereta mass rapid transit dan kereta rel tunggal serta mengembangkan kereta jalur dalam kota. Transportasi publik tak boleh dibikin dengan prinsip asal jalan demi pencitraan.
berita terkait di halaman 66
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo