Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERBONGKARNYA sindikat jual-beli ginjal, bulan lalu, sesungguhnya bukan perkara baru. Menurut para pelaku, mereka sudah menjalani "bisnis" ini sejak 2008. Dari pemeriksaan sementara, polisi memperkirakan perdagangan gelap itu sudah melibatkan 15 "korban".
Perkiraan polisi ini jauh di bawah perhitungan rasional. Dengan lima "transaksi" saja per tahun, bisnis gelap itu menghasilkan setidaknya 35 transaksi selama lebih dari tujuh tahun. Setiap transaksi melibatkan uang Rp 300-400 juta. Sulit pula mempercayai asumsi bahwa "bisnis" itu hanya dijalankan satu komplotan—seperti yang ditangkap baru-baru ini.
Ada fenomena "gunung es" di sini. Menurut data studi Perhimpunan Nefrologi Indonesia, hingga 2015 terdapat paling tidak 30 juta penderita gagal ginjal kronis di Indonesia. Dalam setahun, jumlah itu meningkat hingga 40 persen. Kalau perkiraan itu bisa dipercaya, hingga akhir tahun ini penderita gagal ginjal kronis paling tidak mencapai 42 juta. Misalkan 10 persen saja yang mutlak memerlukan cangkok ginjal—dan mereka mampu secara ekonomi—jumlahnya sudah 4,2 juta orang.
Angka-angka itu semakin menakutkan bila dirujukkan ke catatan Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahwa Indonesia merupakan negeri keempat di dunia dalam jumlah penderita diabetes. Adalah diabetes, dan tekanan darah tinggi, yang dipercaya merupakan penyebab utama gagal ginjal, yang solusi akhirnya hanya menawarkan dua opsi: cuci darah atawa cangkok ginjal.
Pilihan kedua menuntut tersedianya donor, yakni manusia dengan usia ideal 20-30 tahun serta berada dalam keadaan sehat walafiat fisik dan psikis. Hingga saat ini, donor ideal untuk pencangkokan ginjal adalah saudara kembar.
Karena itu, calon donor tak bisa "dipetik" sembarangan alias sak ketemunya. Di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, misalnya, menurut catatan resmi, sekitar 30 persen pengajuan operasi cangkok ginjal ditolak karena calon donor tidak lolos tahap verifikasi. Proses ini dilakukan tim advokasi yang melibatkan, antara lain, ahli psikiatri forensik, ahli ginjal, dan ahli medikolegal.
Calon donor tak hanya harus sehat fisik dan mental, tapi juga tidak sedang berada di bawah tekanan. Calon donor harus berada dalam keadaan mampu mengambil keputusan dan mempunyai rencana yang jelas setelah satu dari dua ginjalnya diambil untuk ditanamkan kepada resipien. Sangat sering terjadi, calon donor tak lulus verifikasi karena dicurigai berbohong atau terbukti pernah menggunakan narkotik.
Dalam jual-beli ginjal ilegal, proses itu diterabas. Menurut penuturan polisi, komplotan yang diringkus bulan lalu itu mengambil calon donornya dari kalangan sopir, petani, dan pengojek—lapisan masyarakat bawah—yang memberikan ginjalnya karena alasan ekonomi. Terungkapnya kasus ini bermula dari seorang tahanan yang mengeluh sakit perut dan, setelah diperiksa, ternyata pernah mengalami pengangkatan ginjal.
Operasi cangkok ginjal sudah berjalan hampir 30 tahun di Indonesia, sejak operasi pertama pada 11 November 1977, yang dipimpin Profesor Otta dari Tokyo. Pada saat ini, sudah terdapat lebih dari 20 rumah sakit Indonesia yang mampu melakukan operasi cangkok ginjal. Terakhir adalah Rumah Sakit Sanglah, Denpasar, yang melakukan operasi cangkok ginjal pertama bulan lalu.
Para pelaku jual-beli ginjal ini bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang melarang jual-beli organ atau jaringan tubuh dengan alasan apa pun. Polisi menambahkan, mereka juga bisa dijerat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tapi, melihat sejumlah perkembangan masalah kesehatan, undang-undang itu tampaknya sudah tak cocok.
Melihat kebutuhan dan permintaan yang demikian tinggi, pemerintah perlu memikirkan upaya "legalisasi" pemberian dan penerimaan ginjal ini—tentu saja di bawah pengawasan ketat dan dengan prosedur semestinya. Jika donor dan resipien sama-sama ikhlas, dan verifikasi menyatakan keduanya dalam keadaan aman, tak ada salahnya "jual-beli" itu dilegalkan, seperti yang terjadi dalam transfusi darah.
Kebijakan legalisasi itu membutuhkan dasar hukum yang kuat. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah perlu memikirkannya dengan saksama. Dengan upaya ini, cangkok ginjal cara makelaran bisa dihindari, paling tidak diminimalisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo