Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan pemerintah membuka keran investasi asing bagi industri perfilman patut disambut. Hal ini akan terwujud dengan dikeluarkannya industri film dari daftar negatif investasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Selama ini, investor asing hanya bisa masuk ke bidang jasa teknik film, yang meliputi studio pengambilan gambar, laboratorium pengolahan film, sarana pengisian suara film, dan sarana pencetakan atau penggandaan film. Itu pun hanya bisa menguasai maksimal 49 persen modal, sehingga mereka harus bekerja sama dengan investor dalam negeri. Adapun jenis usaha yang banyak peminat, yakni pembuatan, pertunjukan, dan pengedaran film, termasuk pendirian bioskop, tak bisa mereka sentuh karena sudah dipagari peraturan tadi: harus 100 persen modal dalam negeri.
Akibatnya, pengusaha asing yang berminat mendirikan bioskop, seperti Lotte Group, Deutsche Bank, dan Rothschild Group, tak bisa masuk. Padahal Lotte Group, perusahaan multinasional pengecer makanan yang berpusat di Jepang, sempat berencana membuka 100 layar. Deutsche Bank dari Jerman dan Rothschild Group, perusahaan investasi Inggris, hendak bekerja sama dengan Cinemaxx, jaringan bioskop milik Lippo Group, untuk membuka 2.000 layar. Dengan dihapusnya pagar ini dan para investor asing masuk, kita bisa berharap target Badan Ekonomi Kreatif membuka 5.000 layar bioskop pada 2019, lima kali lipat dari sekarang, akan tercapai. Pemerintah hanya perlu mengatur agar bioskop-bioskop itu tersebar di seluruh Indonesia; jangan hanya berebut kue penonton di kota besar semacam Jakarta.
Masuknya modal asing dalam pembuatan film akan menggairahkan perfilman nasional. Investasi asing diharapkan melahirkan film bermutu dari berbagai genre, bukan cuma horor murahan dan roman picisan yang selama ini menyesaki jadwal bioskop Tanah Air. Bangkitnya industri film tentu akan menyejahterakan kehidupan para sutradara, aktor, aktris, penulis skenario, dan seniman film lainnya.
Dari perspektif kehati-hatian, pemerintah juga perlu berjaga-jaga bila investor asing benar-benar membanjiri Indonesia, dengan menyiapkan perangkat kebijakan untuk menjaga keseimbangan bisnis film. Kita bisa belajar dari Thailand, misalnya, yang menerapkan sejumlah aturan untuk mencegah monopoli, dengan melarang studio film berafiliasi dengan bioskop serta mengatur rantai distribusi film melalui pembagian wilayah kepemilikan bioskop.
Dari Hollywood, kita bisa menengok Dekrit Paramount, putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 1948 yang melarang sejumlah praktek curang yang dilakukan Paramount Pictures. Pelarangan itu antara lain soal "sistem blok", ketika studio menjual sejumlah filmnya dalam satu paket kepada suatu bioskop. Ada pula larangan kolusi antara rumah produksi dan bioskop sehingga hanya bioskop tertentu yang menayangkan suatu film pada suatu waktu yang ditentukan untuk menghindari "benturan" dengan film pesaing. Juga larangan penjualan eksklusif hak tayang suatu film kepada bioskop tertentu.
Kita memang sudah memiliki Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, tapi belum mengatur hal serinci yang dilakukan Thailand dan Hollywood. Pemerintah sebaiknya segera melengkapi undang-undang itu dengan sejumlah kebijakan untuk mencegah dampak buruk dari bisnis film yang kebablasan dan agar bioskop merata di seluruh Nusantara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo