Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Catatan dari prof. emil salim

Pidato prof. emil salim pada saat pengukuhannya sebagai guru besar, mengemukakan tentang peranan cendekiawan sebagai pengemban suara hati nurani masyarakat, janganlah menjual intelektualitas demi sesuap nasi.

13 Maret 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PIDATO pengukuhan Guru Besar Dr. Emil Salim pada Dies Natalis UI, 14 Pebruari yang lalu cukup memberikan aksentuasi yang gamblang mengenai apa sebenarnya tujuan pembangunan nasional. Juga tentang peranan apa yang dikehendaki dari cendekiawan sebagai pengemban amanat suara hati nurani masyarakat. Sebenarnya bagi mereka yang pernah membaca definisi Prof. Paul Baran mengenai apa yang dimaksud dengan kelompok intelektuil atau cendekiawan, apa yang dikemukakan Prof. Emil Salim bukan sesuatu yang baru. Karena justru peranan intelektuil inilah yang menjadi aksentuasi ceramah Prof. Dr. Widjojo pada saat-saat kita menggerakkan atau merintis lahirnya orde baru tahun 1966. Paul Baran -- menurut terjemahan Prof. Widjojo -- telah mendefinisikan "intelektuil" sebagai berikut: "Seorang intelektuil pada azasnya adalah pengeriik masyarakat, seorang yang pekerjaannya adalah mengidentifikasi, menganalisa dan dengan demikian membantu mengatasi rintangan jalan yang menghambat tercapainya susulan masyarakat yang lebih baik, lebih berperi- kemanusiaan dan lebih rasionil. Dengan demikian ia menjadi hati nurani masyarakat dan jurubicara dari kekuatan-kekuatan progresif yang terdapat dalam tiap periode tertentu dari sejarah -- dan dengan demikian mau tidak mau dianggap 'pengacau'dan seorang yang menjengkelkan bagi ruling class". "Subversi" Nah, seberapa jauh para cendekiawan kita telah betul-betul memenuhi syarat Paul Baran, terutama dalam mencapai sasaran pembangunan sebagai pencerminan adanya perencanaan ekonomi? Sangat mudah untuk menyatakan atau mengatakan apa yang disebut "tanggungjawab sosial" seorang cendekiawan, tetapi tidak mudah melaksanakannya tanpa adanya "kecurigaan" atas maksud baiknya. Terutama di negara yang sedang berkembang, di mana suatu kritik selalu diidentikkan dengan "subversi" atau "mengganggu ke tertiban dan keamanan ". Demikian pula sangat sulit untuk menafsirkan apa yang dimaksud dengan "penggunaan kebebasan mimbar dalam bentuk yang kreatif, konstruktif dan bertanggungjawab, sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat", selama dalam interpretasi rumusan GBHN tersebut masih tersirat "selera" kelas yang berkuasa yang berlindung di belakang slogan "demi keamanan dan ke Tujuan pembangunan nasional cukup gamblang, yakni "membangun manusia Indonesia seutuhnya". Bukan hanya dengan meningkatkan produksi tetapi sekaligus mencapai perataan pembagian pendapatan, demikian GBHN. Keadilan sosial sebagai refleksi dari pada pembagian pendapatan yang merata harus bisa tercermin dalam bentuk "kesempatan kerja bagi setiap warga negara dan dari kesempatan kerja tersebut mereka bisa hidup layak". Ini jelas tuntutan UUD 1945, khususnya pasal 27 ayat 2. Namun telah tercapaikah pelaksanaan perencanaan ekonomi untuk mewujudkan amanat tersebut? Kesempatan kerja bagi setiap warga negara untuk bisa hidup layak, tidak saja menyangkut masalah ekonomi. Tapi juga menyangkut "harga diri" manusia sebagai makhluk Tuhan. Manusia tanpa kerja tidak saja mengakibatkan ia tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, tapi juga akan kehilangan harga dirinya. Betapa tepatnya perumusan dalam GBHN itu! Jelaslah kiranya bahwa yang penting bukan bagaimana perumusan atau "das Sollen"nya, tapi bagaimana implementasinya. Untuk itu sekali lagi kami tuliskan apa yang patut dicatat dalam definisi Prof. Emil Salim, yakni bahwa "peranan cendekiawan di negara berkembang adalah lebih dari sekedar menjadi intelek yang menjual keahlian dan ilmunya kepada siapa yang menggajinya". "Peranan cendekiawan di negara berkembang seperti halnya di Indonesia sekarang ini adalah ahli yang memiliki tanggungjawab sosial. Ia adalah pemikir dan sekaligus pembawa suara hati nurani masyarakat...." Interpretasi dari definisi tersebut cukup jelas sebagai ajakan, janganlah para cendekiawan demi sesuap nasinya menjual martabatnya atau melacurkan intelektualitasnya. Dapatkah tantangan ini terjawab secara positif, terutama bagi calon-calon intelektuil masa datang?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus