Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“LAKON Sambo”. Izinkan saya, untuk mudahnya, menyebut cerita pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat dengan nama itu. Izinkan saya melihat peradilannya sebagai sebuah teater tersendiri: ada panggung, ada tokoh-tokoh, ada dialog, dan ada penonton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juga suspens. Seperti dalam cerita detektif, selapis demi selapis tabir dalam “Lakon Sambo” tersingkap—dan ribuan penonton, juga yang berkilo-kilometer jauhnya, menantikan tak sabar apa yang akan menyusul. Orang terpikat sebagaimana mereka terpukau fiksi Agatha Christie.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atau mungkin juga “Lakon Sambo” menarik karena khalayak ramai menyukai cerita darah dan berahi, kekerasan dan seks, mirip film Mafia dan Yakuza di Netflix dan HBO.
Tapi bisa juga karena khalayak ingin lebih tahu—atau ingin mengkonfirmasi—yang selama ini mereka dengar: busuknya bagian kekuasaan Negara yang disebut “polisi”, bagian NKRI yang kerap bersentuhan dengan hidup kita sehari-hari, ketika kita berikhtiar membangun keadilan.
90% pelaku “Lakon Sambo” adalah polisi. Tak semua mereka bad guys. Tapi ini drama di mana seorang anggota Polri dibunuh anggota Polri lain dan seorang jenderal Polri yang berkuasa jadi tokoh utama yang brutal dan sekitar 90 orang anggota “Korps Bhayangkara” ikut cemar. Di atas itu semua, pada mulanya adalah seks.
"Lakon Sambo”; cerita yang gelap, kotor, kejam.
Tapi, di tahun baru, izinkanlah saya membacanya sebagai episode yang cerah. “Lakon Sambo” adalah momen Indonesia yang jadi matang.
Ada empat sisi.
Nomor 1: para penonton.
Lakon ini diikuti masyarakat luas—amat luas. Praktis sepenuhnya terbuka. Bermacam stasiun TV dan kanal YouTube dan kelompok WA—yang semula tak pernah muncul—menyorotinya. Mereka bahkan memproduksi liputan tambahan, melengkapi atau membahas yang dikemukakan di mahkamah.
Bermacam debat besar-kecil dibuka hampir saban malam. Advokat, pakar hukum, pakar psikologi forensik, mantan hakim, pensiunan perwira, juru baca perubahan wajah, bahkan guru besar filsafat, semua diundang membahas. Bersamaan dengan itu—juga melalui YouTube—siapa saja bisa berkomentar.
Agaknya hanya di zaman ini arus informasi bisa sederas itu—satu hal yang tak terbayangkan bisa terjadi di masa lalu. Sebuah rezim yang serba kuasa tapi juga mudah cemas (“Demokrasi Terpimpin” Sukarno dan “Orde Baru”) akan menutupi skandal sebesar “Lakon Sambo”.
Di Indonesia kini, dengan jumlah telepon genggam yang tersebar melebihi jumlah penduduk, menutup sebuah sidang peradilan akan mustahil. Ribuan warga negara Indonesia telah asyik ikut, aktif bersuara—tanpa hadir. Seraya jutaan mata mengikutinya, ruang pengadilan pun terbebas dari kerumunan massa yang bisa menggertak atau mengganggu. Para aktor di peradilan bisa leluasa; intervensi dan manipulasi di balik panggung akan segera bisa diketahui. Teater itu berlangsung mandiri.
Nomor 2: para aktor.
Kemandirian para aktor, sejauh ini, membangun wibawa para hakim. Mereka bukan “hakim yang makan bebek” sebagaimana dicemooh sebuah lakon Bertolt Brecht. Tempat duduk mereka yang tinggi, di balik sekat kaca, toga mereka yang merah-hitam, suara hakim ketua yang berat, memberi aksen tersendiri ketika mereka disebut dengan hormat sebagai “Yang Mulia”. Kepada hakim-hakim itu, para perwira polisi, yang biasanya hadir dengan postur dan seragam yang intimidatif, merunduk.
Maka, dalam “Lakon Sambo”, satu unsur penting dalam demokrasi (yang acapkali diabaikan) ternyata bisa ditegakkan: aparat yang bersenjata, yang diberi hak memegang monopoli kekerasan, tunduk kepada yang berwewenang tanpa bersenjata.
Nomor tiga: bahasa.
Proses pengadilan pun jadi proses penalaran. Emosi bisa menggelegak—dendam, sedih, marah—tapi semua harus diutarakan dan bisa dibantah; artinya, nalar memegang peran sentral.
Yang umumnya dilupakan: proses penalaran yang dikomunikasikan itu memakai bahasa. Dalam “Lakon Sambo”, bahasa Indonesia adalah modal pokok yang niscaya.
Saya terkesima membaca nama para aktor, baik yang ada dalam panggung maupun yang di luarnya. “Sambo”, “Pudihang Lumiu”, “Deolipa Yumara”, “Romer”, “Soplanit”, “Djaprie”— adalah nama-nama Indonesia yang jarang dikenal, hingga umumnya orang tak tahu dari daerah mana (atau dari “suku” apa) mereka berasal. Dalam “Lakon Sambo”, itu tak penting. Yang pasti mereka bisa berkomunikasi. Semua menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
Terdakwa Sambo berbicara fasih, demikian pula Penasihat Hukum Febri Diansyah, Ronny Talapessy, dan Martin Simanjuntak. Dalam membawakan argumen, artikulasi Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel contoh terbaik dalam berpikir jernih dan urut, dengan bahasa Indonesia yang nyaris tanpa cela....
Nomor 4: proses.
Dari bahasa yang dipergunakan, tampak proses peradilan “Lakon Sambo” adalah praktik rasionalitas. Di tengah perbedaan dan bentrokan yang mempertaruhkan nasib, tak ada sentimen kesukuan, etnis, atau agama.
Mungkin ironis, bahwa dalam “Lakon Sambo” yang berthema kekerasan, Indonesia bertemu sebagai satu bahasa, satu bangsa.
Tapi pada saat yang bersamaan kita disadarkan ada soal dasar yang tak bisa diabaikan dalam sebuah bangsa, sebuah masyarakat manusia: keadilan. Juga dialog ataupun konfrontasi untuk keadilan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo