Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Cegahlah Teror Sedari Hulu

26 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA tentang mantan narapidana terorisme yang kini aktif menggerakkan program deradikalisasi bolehlah membuat kita gembira. Mereka rajin berdakwah menangkal paham keliru tentang teror sebagai aksi jihad membela agama.

Tentu saja perbuatan belasan bekas pelaku kekerasan ini tak sepenuhnya mampu membendung gelombang radikalisasi. Namun setidaknya cerita mereka bisa menjadi contoh dan studi kasus agar pemerintah bisa merumuskan program deradikalisasi yang lebih jitu. Berhasil-tidaknya kerja Badan Nasional Penanggulangan Terorisme diukur dari kesuksesan program deradikalisasi ini.

Saat ini ada setidaknya 1.300 orang Indonesia yang dipidana akibat terlibat kasus terorisme, terhitung sejak bom Bali 2002. Sekitar 900 orang di antaranya telah menjalani masa hukuman dan kembali ke masyarakat. Merekalah yang menjadi sasaran utama program deradikalisasi meski sebagian mantan narapidana itu menolak mengikuti program ini.

Sebagian pelaku teror kembali melakukan kekerasan. Teror bom akhir tahun lalu di Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur, yang menewaskan bocah 2 tahun, Intan Olivia Marbun, dilakukan eks narapidana terorisme. Demikian pula peledakan bom Sarinah di Jalan Thamrin, Jakarta, awal 2016, dan bom Kampung Melayu bulan lalu.

Mereka yang disebut sudah "berhasil" mengalami deradikalisasi pun tak semuanya benar-benar meninggalkan gagasan negara Islam yang melatarbelakangi teror. Mereka setuju meninggalkan jalan kekerasan, tapi banyak yang masih bermimpi mendirikan negara Islam dengan cara menghapus sekat negara bangsa. Riset Institute for Policy Analysis of Conflict pimpinan Sidney Jones pada 2014 menyebutkan sebagian narapidana terorisme bersedia ikut program deradikalisasi karena imbalan uang atau lainnya.

Kesimpulan itu tak mengejutkan. Pada era Orde Baru, pemerintah menerapkan strategi serupa untuk menderadikalisasi pentolan Negara Islam Indonesia dan aktivis Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Sebagian dari mereka mendapat fasilitas ekonomi berupa stasiun pengisian bahan bakar dan menjadi agen minyak tanah dari Badan Koordinasi Intelijen Negara TNI. Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa model semacam itu tak efektif menangkal berkembang kembalinya paham radikal.

Rendahnya tingkat keberhasilan program deradikalisasi selama ini bukan alasan untuk menghentikan sama sekali upaya itu. Ikhtiar perlu terus dilakukan, bahkan harus kian gencar. Pengalaman beberapa lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang deradikalisasi menunjukkan bahwa salah satu kunci keberhasilan program mereka adalah mencari alasan personal seseorang menjadi teroris. Yayasan Prasasti Perdamaian, salah satu lembaga yang giat melakukan deradikalisasi dengan cara ini, menyebutnya sebagai upaya mencari "asal mula seseorang menjadi radikal".

Setiap eks narapidana terorisme punya kisah khusus mengenai momen penting itu. Ada yang digerakkan oleh pengalaman menjadi korban ketidakadilan. Ada pula yang terpengaruh indoktrinasi ulama atau keluarga. Perbedaan faktor pemicu membedakan jenis aktivitas deradikalisasi yang harus dijalani si mantan teroris. Ada eks pengebom yang tersentuh nuraninya ketika dipertemukan dengan korban bom. Ada juga yang berubah setelah melihat kesalehan polisi-polisi di Detasemen 88, kesatuan khusus antiteror Polri. Dengan kata lain, deradikalisasi tak bisa diterapkan dengan cara seragam untuk semua orang alias one size fits all.

Selain deradikalisasi eks narapidana terorisme, satu hal yang tak boleh dilupakan adalah pencegahan radikalisme di hulu. Pendidikan agama di sekolah harus diperhatikan. Hasil riset tim Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Jakarta terhadap 500 guru agama Islam di lima provinsi pada akhir tahun lalu menemukan lebih dari 80 persen responden menolak pemimpin nonmuslim dan pendirian rumah ibadah agama lain di wilayah mereka. Dakwah yang intoleran juga perlu dipantau ketat agar tidak mengajarkan paham sesat.

Gejala konservatisme di sekolah dan di tempat ibadah merupakan pintu masuk bagi radikalisme. Pemerintah tak boleh berpangku tangan. Masyarakat lewat pelbagai komunitas dan lembaga swadaya hendaknya bahu-membahu menyebarkan agama dengan tafsir moderat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus