Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemberantasan Korupsi hendaknya tidak ewuh pakewuh dalam mengusut skandal pajak yang ditengarai melibatkan adik ipar Presiden, Arif Budi Sulistyo. Janji Joko Widodo untuk tidak ikut campur dalam perkara rasuah itu hendaknya dipegang teguh tak cuma oleh Presiden, tapi juga oleh semua aparat pemerintah. Rumor tentang adanya pembantu Presiden yang berusaha "membekap" kasus ini hendaknya tidak mempengaruhi KPK.
Nama Arif muncul dalam sidang pengadilan Ramapanicker Rajamohanan Nair, dua pekan lalu. Pemilik PT EK Prima Ekspor Indonesia itu tertangkap menyuap pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Handang Soekarno, untuk menyelamatkan pajak perusahaannya yang bermasalah. Rajamohanan menyogok Handang Rp 1,9 miliar—dari total Rp 6 miliar yang dijanjikan—untuk menghapus tunggakan pajak Rp 78 miliar lebih di perusahaannya. Diduga, penyuapan ini "difasilitasi" Arif.
Ada dua kemungkinan mengapa Rajamohanan menyebut nama Arif. Pertama, ia tak mau tenggelam sendiri, mengingat persekongkolan itu dilakukan secara kolektif. Kedua, ia ingin membuktikan punya beking kuat dan—dengan cara itu—masih berharap mendapat keringanan hukuman atau malah lepas dari jerat hukum sama sekali. Nama lain yang muncul dalam perkara ini adalah Ken Dwijugiasteadi, Direktur Jenderal Pajak.
Munculnya nama Arif dalam surat dakwaan terhadap Rajamohanan tidak otomatis membuktikan suami adik bungsu Presiden Jokowi itu bersalah. Tapi riwayat persahabatan Arif dan pengusaha asal Kerala, India, itu juga tidak bisa dinafikan begitu saja. Kalau Rajamohanan bisa dipercaya, hubungan persahabatan antara dia dan Arif sudah berjalan sepuluh tahun, jangka waktu yang tidak bisa dibilang singkat. Karena itu, tidak salah bila Rajamohanan menyebut Arif "teman" yang bisa dimintai bantuan menyelesaikan pajak yang membelit perusahaannya.
Sepanjang persahabatan satu dasawarsa itu, tetap tak patut berasumsi bahwa Arif sudah berkali-kali "membantu" Rajamohanan. Komisi Pemberantasan Korupsi pun baru mulai bulan lalu memeriksa Arif secara diam-diam. Ketika namanya muncul dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, barulah "bertemu ruas dengan buku".
Belum tentu Presiden Jokowi mengetahui—apalagi merestui—"kelincahan" adik iparnya itu mengurus pajak perusahaan bermasalah. Tapi posisi Arif sebagai pengusaha juga bukan tak mungkin dipermasalahkan. Arif dikenal sebagai Direktur Operasional PT Rakabu Sejahtera, perusahaan mebel yang memiliki pabrik di Solo, Jawa Tengah—perusahaan yang memproduksi furnitur dari olahan kayu jati. Rakabu Sejahtera adalah hasil perkongsian PT Rakabu, perusahaan milik keluarga Presiden Joko Widodo, dengan PT Toba Sejahtera, perusahaan milik Luhut Binsar Pandjaitan, kini Menteri Koordinator Kemaritiman. Komposisi sahamnya 51 persen dipegang keluarga Joko Widodo dan 49 persen dipegang Luhut Binsar Pandjaitan. Kongsi usaha ini terbentuk pada Maret 2007.
Artinya, Arif bukan pengusaha biasa. Dia dekat dan punya akses ke pusat kekuasaan. Dia tidak hanya memiliki tali kekerabatan, tapi juga tali perkongsian dengan pengambil keputusan. Dalam masyarakat primordial, posisi itu membuat dia tidak hanya seperti tak tersentuh, tapi juga mudah diterima—kalau tak patut dikatakan diiyakan—oleh rantai birokrasi yang memegang berbagai keputusan.
Permainan Arif pada akhirnya memang mencederai marwah kakak iparnya. Risiko ini sesungguhnya sangat berat untuk Joko Widodo, yang berkali-kali—terutama di masa kampanyenya—menjanjikan pemerintahan yang bersih dan transparan. Apalagi skandal pajak ini terbongkar ketika Presiden Jokowi sedang semangat-semangatnya menjinakkan wajib pajak nakal lewat tax amnesty.
Di samping tegas bersikap, sebaiknya Presiden Joko Widodo memperbaiki pola rekrutmen penyelenggara negara. Pola kekerabatan dan pertemanan yang digunakan untuk merekrut pejabat negara dan orang-orang di sekitar Istana, misalnya, sama sekali tidak meninggalkan kesan yang bisa dihormati.
Presiden Joko Widodo hendaknya "tidak memasukkan tangannya ke air yang sedang keruh". Biarkan penyelidikan dan pengadilan berjalan sebagaimana mestinya. Orang yang mengatasnamakan Presiden untuk menghentikan pengusutan kasus ini selayaknya ditindak.
Di tengah semangat pemerintah memerangi korupsi, setiap upaya "menjinakkan" penegak hukum dalam perkara adik ipar ini akan mencoreng wajah Presiden. Ia akan dicap nifak dan tampak seperti kata peribahasa, "kelihatan tungau di seberang lautan, tapi tak tampak gajah di pelupuk mata".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo