Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARUS diakui, sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara, Dahlan Iskan banyak melakukan terobosan untuk memperbaiki kinerja perusahaan pelat merah. Dia gemar melakukan inspeksi mendadak ke lapangan. Tanpa sungkan, dia mencopot direksi BUMN yang merugi dan komisaris yang enggan melaporkan kekayaan. Birokrasi yang panjang dan lamban dipotong agar lebih ringkas dan cergas.
Dahlan juga kerap mengundang kritik. Gaya kepemimpinannya yang ala koboi dianggap sebagai bentuk pencitraan belaka. DPR pernah pula mengancam melakukan interpelasi karena dia dianggap menabrak sejumlah aturan dalam mengelola BUMN. Majalah ini sudah beberapa kali mengingatkan pentingnya Dahlan taat pada prosedur guna menyempurnakan niat baiknya itu.
Dalam berurusan dengan prosedur dan peraturan, Dahlan mungkin memang agak lebay. Entah disengaja entah tidak, dia seperti abai atau melupakan aturan dan dasar hukum yang—bila dikerjakan dengan cermat—semestinya menjadi pijakan kuat dalam bertindak sebagai Menteri BUMN. Ia, misalnya, menerbitkan Keputusan Menteri Nomor KEP-236/MBU/2011. Beleid itu berisi pendelegasian sebagian kewenangan atau pemberian kuasa menteri sebagai pemegang saham persero kepada direksi, dewan komisaris, atau dewan pengawas dan pejabat eselon I di lingkungan Kementerian BUMN.
Dengan beleid pendelegasian itu, Dahlan berniat memotong hierarki pengambilan keputusan. Selama ini urusan pengangkatan direksi dan komisaris BUMN saja, misalnya, kerap berbelit dan memakan waktu. Energi para calon direksi dan komisaris terkuras untuk menjalani proses itu. Akibatnya, pengelolaan perusahaan pun menjadi terbengkalai.
Padahal wewenang Dahlan sebagai kuasa pemegang saham persero tak bisa didelegasikan secara sembarangan. Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, wewenang itu melekat hanya pada dirinya sebagai menteri. Kasarnya, dalam keadaan tidur pun Dahlan, sebagai Menteri BUMN, adalah pemegang saham. Dahlan bahkan rapat umum pemegang saham (RUPS) itu sendiri. Dia cuma bisa mendelegasikan wewenang itu kepada BUMN satu per satu, misalnya saat melakukan RUPS.
Gesekan yang terjadi di kabinet belakangan ini, antara Dahlan dan koleganya di kabinet, rasanya tak lepas dari urusan tertib aturan dan prosedur ini. Tentu saja unsur pertarungan kekuasaan di balik penempatan pemimpin perusahaan negara tak bisa dilupakan. Kenyataannya, sebagai Menteri BUMN, dia bekerja di lingkungan kabinet yang sangat birokratis dan politis. Karena itu, Dahlan mesti pandai membaca situasi para kolega dan bosnya.
Sebagai orang yang pernah membawahkan ratusan perusahaan di Grup Jawa Pos, Dahlan semestinya waspada terhadap jebakan hukum dan politik. Disiplin di dunia swasta untuk mencatat semua pembicaraan rapat dalam minute of meeting perlu dia terapkan saat bekerja. Dahlan tak bisa berpegang pada arahan lisan pimpinannya. Dia harus memformalkan semua pembicaraan dalam rapat atau sidang kabinet menjadi aturan tertulis di atas kertas yang berkekuatan hukum.
Sambil terus bekerja, Dahlan harus mampu mengurai birokrasi yang menghadang. Terlalu sayang bila upaya reformasi BUMN yang telah mulai mekar harus kembali kuncup. Waktu dua tahun yang tersisa harus digunakan untuk melanjutkan reformasi secara lebih terarah. Sudah lama rakyat merindukan terwujudnya korporasi milik negara yang efisien dan efektif, serta bebas dari korupsi dan kolusi.
berita terkait di halaman 96
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo