Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sudah Sampai di Kitab Suci

2 Juli 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENTAH apakah masih ada kasus korupsi yang membuat kita terkejut setelah mendengar maklumat terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi: lembaga itu menemukan adanya perbuatan korupsi dan suap dalam pengadaan Al-Quran di Kementerian Agama.

Korupsi memang perbuatan lancung. Untuk mendapatkan hasil yang didambakan, koruptor meninggalkan antrean panjang, mengesampingkan proses, nilai dari suatu usaha yang gigih, seraya berpaling pada sukses yang diperoleh melalui jalan pintas dan curang. Namun korupsi pengadaan Al-Quran di Kementerian Agama ini lebih dari sekadar lancung. Bukan karena cara yang ditempuh oleh sang koruptor, melainkan karena apa yang dikorup dan siapa yang demikian berani melakukannya.

Di mata sang koruptor, Al-Quran tak lagi sakral dan telah menjelma menjadi komoditas yang bakal mendatangkan keuntungan komersial belaka. Ironisnya, yang melakukan desakralisasi sedemikian rupa justru pejabat dari kementerian (agama) yang tentunya sangat memahami persoalan ini. Korupsi pengadaan Al-Quran diduga terjadi di Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama pada 2010. Ketika itu Nasaruddin Umar—sekarang Wakil Menteri Agama—masih menjabat Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Sejauh ini Komisi Pemberantasan Korupsi telah menetapkan dua tersangka.

Tatkala simbol-simbol agama memainkan peran begitu mencorong dalam keseharian hidup, kita pun jadi ingin tahu "keberanian" yang melatarbelakangi perbuatan pejabat yang korup itu. Bukan apa-apa, di negeri dengan bermacam pengajian yang ramai dikunjungi orang ini, sebagian penghuninya khawatir bahwa seorang Lady Gaga akan mencemarkan moral para pemuda, dan bank berlomba-lomba menampilkan warna religius (syariah) dalam produknya, "keberanian" seperti ini meninggalkan kesan aneh.

Semangat untuk meletakkan agama sebagai identitas sosial memang tengah mengalami pasang naik dalam beberapa tahun terakhir. Namun perkembangan ini kerap membuat kita terpukau oleh hal-hal yang mendukung penampilan religius pada kulit luar, dan melupakan pengembangan nilai-nilai religius di dalam diri. Kalau nilai-nilai religius belum terinternalisasi, seorang pejabat dari kementerian itu pun tak ragu melakukan perbuatan yang bertolak belakang dengan keyakinannya.

Diakui atau tidak, "keberanian" ini juga merupakan lanjutan dari rangkaian demoralisasi yang belakangan ini menimpa kementerian yang sekarang dipimpin oleh Menteri Agama Suryadharma Ali itu. Kementerian Agama dinilai sebagai instansi yang tidak begitu berhasil mengikis korupsi di lingkungannya. Pada Agustus 2002, misalnya, Kejaksaan Agung mendapat laporan dugaan korupsi Rp 116 miliar di Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam Kementerian Agama. Pada Maret 2003, Badan Pemeriksa Keuangan juga menemukan penyelewengan dana pengadaan buku tahun anggaran 2001/2002 sebesar Rp 16 miliar di kementerian yang sama.

Umat hingga kini juga mempertanyakan penggunaan dana abadi umat. Kementerian Agama terkesan tidak transparan dalam pemanfaatan dana yang berasal dari bunga setoran ongkos naik haji itu. Jangankan umat, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan pada akhir 2003 mengalami kesulitan mengaudit dana abadi umat yang mencapai Rp 5-6 triliun. Publik pun tahu bahwa seorang pejabat tinggi Kementerian Agama telah divonis bersalah karena terlibat korupsi pelaksanaan ibadah haji. Tidak tanggung-tanggung, yang melakukan korupsi itu Menteri Agama Said Agil al-Munawar.

Kalau sudah begini, tak ada jalan bagi Kementerian Agama selain memperbaiki citra instansi yang telanjur buruk itu. Kementerian ini harus membuka diri, menciptakan sistem pengaduan masyarakat yang efektif serta direspons dengan cepat dan transparan. Hal itu untuk mendorong publik mengawasi dan melaporkan indikasi korupsi di lingkungan tersebut.

Kini kita terperangah karena yang dikorup ialah dana pengadaan kitab suci. Logikanya, kalau yang suci sudah dikorup, apalagi yang profan. Kemudian orang bisa berpikiran, kalau Kementerian Agama saja korup, wajarlah bila kementerian lain korup pula.

berita terkait di halaman 32

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus