Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBETULNYA, tanpa larangan resmi pun, merokok di tempat umum semestinya dihindari. Ini soal sopan santun. Perokok, juga pengelola tempat berkumpul dan bertemunya orang banyak, hanya perlu berempati bahwa ada orang lain yang terganggu kepulan asap tembakau. Jika ini dilakukan, tak perlu pula ada gugatan seperti yang kini sedang dihadapi ITC Cempaka Mas.
Apa daya, sopan santun tak selalu bisa diandalkan berlaku otomatis. Kenyataannya, dengan alasan kemerdekaan perorangan, selalu saja ada orang yang bertingkah semau gue dan tak peka terhadap hak orang lain, meski ketakacuhannya itu bisa sangat merugikan. Itulah sebabnya, dalam beberapa hal, peraturan diperlukan untuk memastikan setiap hak dihargai dan setiap kebebasan tidak menjadi kebablasan.
Dalam urusan rokok, untuk menghindari gesekan kepentingan antara perokok dan mereka yang bukan perokok, dibuatlah peraturan daerah mengenai larangan merokok di kawasan tertentu. Dengan peraturan ini, perokok bisa tetap mengisap sigaret atau cerutu, atau apa pun yang membakar tembakau, selain di rumah sendiri, dan mereka yang nonperokok tetap memperoleh udara bersih dan sehat di tempat-tempat ramai.
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta termasuk di antara sedikit wilayah yang mempunyai peraturan semacam itu. Diberlakukan sejak 2005, Peraturan Daerah Nomor 75 ini menetapkan bahwa tempat umum seperti restoran dan pusat belanja sebagai kawasan dilarang merokok. Pada pasal 18 disebutkan sejumlah syarat untuk mengecualikan beberapa bagian dari tempat-tempat itu. Sebagian dari syarat ini merupakan cara mencegah asap rokok menyebar ke mana-mana.
Sayangnya, meski didukung pula oleh Peraturan Gubernur Nomor 88 Tahun 2010, ketentuan itu hanya gagah di atas kertas. Dalam prakteknya, tempat umum seperti yang disebut di dalamnya tak pernah bebas total dari asap rokok. Selalu saja ada ruang yang seolah-olah memang mempersilakan perokok melayani kecanduannya dan memaksa kaum nonperokok menghirup asap beracun secara pasif. Misalnya di food court atau di kedai kopi yang terdapat di dalam gedung.
Keadaan serupa itulah yang terjadi di ITC Cempaka Mas, yang lalu membuahkan gugatan di pengadilan. Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) memperkarakan pusat belanja di Jakarta Pusat itu karena mengabaikan ketentuan dan tak merespons keluhan masyarakat. Dua pihak lain yang juga dimintai pertanggungjawaban adalah PT Duta Pertiwi sebagai pemilik dan Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI. Gugatan ini tak meminta ganti rugi serupiah pun. Yang diinginkan hanyalah ada hukuman yang bisa jadi contoh dan, ujung-ujungnya, penegakan aturan.
Fakta telah memilih langkah yang sudah sewajarnya ditempuh. Pelanggaran terang-terangan terhadap peraturan daerah dan peraturan gubernur itu, bagaimanapun, tak boleh dibiarkan. Walau demikian, gugatan juga menjadi penting terutama untuk memastikan adanya hukuman bukan hanya bagi pihak yang melanggar aturan, melainkan juga pihak yang seharusnya memastikan pelaksanaan aturan.
Dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah sangat membatasi ruang gerak perokok di tempat umum, Indonesia memang masih jauh tertinggal. Kita tentu saja bisa sejajar dengan mereka. Tapi, untuk sampai ke sana, mula-mula hasil persidangan atas gugatan terhadap ITC Cempaka Mas harus bisa menjadi indikasi bahwa kenyamanan tempat publik bagi kaum nonperokok memang bisa diwujudkan.
berita terkait di halaman 94
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo