DALAM Laput NU Menggandeng Muhammadiyah, Muhammadiyah Menggandeng NU, TEMPO 22 Juni, ada ditulis: "Kiai Hasyim Asy'ari itu 'kan yang memudahkan terbentuknya MAI (Majlis A'la Indonesia, cikal bakal Masyumi)," kata Prodjo. Dan itu atas inisiatif Kiai Mas Mansur. Di situ Kiai Wahab duduk, Kiai Dahlan duduk. Malah, katanya, dengan Boedi Oetomo (BO), Muhammadiyah juga tidak berpisah: ada kongres BO di rumah K.H. Dahlan, dan Muhammadiyah juga kebagian bantuan dari BO." Saya ingin menambahkan beberapa hal sehubungan dengan kutipan di atas. MAI yang dimaksud itu adalah MIAI (Majlis Islam A'la Indonesia), Majlis Islam Tertinggi Indonesia. Federasi yang semula bernama Majlis Islam Luhur ini merupakan federasi sejumlah organisasi Islam, yang didirikan September 1-37 atas prakarsa K.H. Mas Mansur. Hingga tahun 1942 tercatat 21 organisasi Islam menjadi anggota. Gagasan membentuk federasi ini timbul atas kesadaran ukhuwah Islamiah di kalangan ulama saat itu. K.H. Mas Mansur merasa muak melihat adanya pertikaian perkara sepele (khilafiyah, furu'iyah, juga politik?) yang dikhawatirkan bisa menimbulkan perpecahan dan kelemahan umat. Di Pamekasan, Madura, lima bulan sebelum MIAI berdiri, Mas Mansur berkata, ". . . Maka timbullah ikhtiar saya persoon, menjumpai kiai besar di Surabaya yang beliau itu tidak berpartai, ialah Kiai Ahmad Dahlan, diajak membentuk satu badan mengundang ulama tanah Jawa dan Madura dahulu buat merembug dan membentuk badan memperbaiki kemaslahatan ulama dari ulama Islam yang ada sekarang ini .... Beliau mufakat, akhirnya kita mengundang ulama tanah Jawa dan Madura sejumlah 110 ulama, yang datang 70 ulama." ( Adil, 29 April 1937). Di samping itu, K.H. Hasyim Asy'ari pada saat itu gencar berseru agar umat Islam segera bersatu. Dan selanjutnya dengan demikian jelas, yang duduk di MIAI bukan Kiai Dahlan Yogyakarta, pendiri Muhammadiyah, tetapi Kiai Ahmad Dahlan bin K.H. Muhammad Ahyad Surabaya, salah seorang pendiri kelompok diskusi Taswirul Afkar, pendiri dan pengurus NU (Wakil Rois Akbar K.H. Hasyim Asy'ari, 1926) yang dikenal sebagai pengasuh pesantren Kebon Dalem, dekat kompleks masJid Sunan Ampel Surabaya. Beberapa penulis, misalnya A.K. Pringgodigdo, Umar Hasyim, Deliar Noer, dan Ariantara (skripsi di Jurusan Sejarah FSUI, 1984), tampaknya mengidentifikasikan Kiai Dahlan Surabaya dengan Kiai Dahlan Yogyakarta. Padahal, Kiai Dahlan Yogyakarta wafat Februari 1923, sedang MIAI berdiri September 1937 (lihat Choirul anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul ulama, Solo, Jatayu, 1985). Choirul Anam sendiri - wartawan TEMPO di Surabaya - adalah cucu menantu Kiai Ahmad Dahlan Surabaya. Adapun hubungan Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo memang telah lama terjalin. Sebelum mendirikan Muhammadiyah pada 1912, Kiai Dahlan adalah anggota BO cabang Yogyakarta. Di Surabaya hubungan ini lebih dipererat dengan terjalinnya persahabatan antara Mas Mansur dan dr. Soetomo, yang kerap kali berdiskusi sejak medio 1923, yaitu ketika dr. Soetomo bertugas di CBZ (rumah sakit Surabaya) sepulang dari studi di Jerman Barat. Meski secara teologis kedua tokoh pergerakan ini amat berbeda pendapat, pada 1925 dr. Soetomo dengan sukacita memenuhi permintaan Mas Mansur menjadi medische adviseur (penasihat medis) Muhammadiyah Surabaya. Mas Mansur mengakui bahwa segala aktivitas Muhammadiyah cabang Surabaya di bidang kesejahteraan sosial, seperti pengadaan rumah sakit, panti asuhan, dan dokter, tak lain atas saran dr. Soetomo (Penganjur, Juli 1938). Bahkan, dr. Soetomo mengimbau agar didirikan pula PKO (Penolong Kesengsaraan Oemat, kini PKU) cabang Muhammadiyah Surabaya, 1924. Dan tak segan-segan membujuk tak kurang dari 19 orang dokter pribumi dan Belanda untuk memberikan bantuannya ke PKO Muhammadiyah Surabaya. Semoga ini bisa melengkapi Laput TEMPO tersebut. DARUL AQSHA FS UI, Rawamangun Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini