Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Api Di Merdeka Barat

Gedung RRI nasional Jakarta terbakar. Dua karyawan Nana Ramli dan Supriadi tewas. Penyebab kebakaran belum jelas. (nas)

27 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"INILAH Radio Republik Indonesia Stasiun Nasional Jakarta, di udara dengan gelombang 25, 31, 41, 49, 225, 246, 302 meter, dan pemancar FM 105 MegaHertz." Sabtu malam pekan lalu sekitar pukul 22.10 WIB suara itu terdengar dari RRI Jakarta. Inilah suara pertama RRI Jakarta setelah menghilang hampir dua jam karena musibah - peristiwa pertama kali dalam sejarah RRI Jakarta di zaman kemerdekaan. Dan Anda pun tentu sudah tahu. Malam itu, diduga mulai pukul 19.30, gedung RRI Jakarta diJalan Medan Merdeka Barat terbakar. Dan pukul 20.20 aliran listrik di gedung itu sama sekali mati, RRI menghilang dari udara. Suara pertama yang kemudian mengudara adalah suara Penyiar Leila Utama dari studio di Jalan Radio Dalam, Kebayoran Baru - sekitar 10 km ke arah selatan dari gedung yang terbakar. Tentu saja, semuanya serba darurat. Mikrofon yang dipakai supaya tegak di meja harus diganjal dua bungkus gula pasir. Suara mesin diesel ikut masuk - ruangan itu tidak kedap suara. Itu sebabnya Penyiar Idrus lalu mencoba menghidupkan pemancar di OB Van (pemancar di mobil) yang sempat diselamatkannya dari halaman gedung Medan Merdeka Barat. Berhasil. Setelah warta berita pukul 22.00 yang terlambat, siaran kemudian memang dipindahkan ke mobil yang lebih terlindung dari suara dari luar. Sekali di udara tetap di udara. Semboyan RRI ini, yang malam itu diulangpesankan Menpen Harmoko, otomatis jadi pegangan semua karyawan RRI. "Sudah jadi naluri kami untuk tetap di udara," kata Idrus kepada Agus Basri dari TEMPO. Baru pada Minggu pagi siaran dipindahkan ke gedung Pusat Pendidikan dan Latihan Radio, beberapa meter di belakang gedung pemancar. Di gedung Pusdiklat itu peralatan memang lebih lengkap, dan ada ruang kedap suara. Belum jelas dari mana datangnya api. Hingga Senin malam pekan ini sudah 26 orang yang dimintai keterangan oleh Polres Jakarta Pusat. Semua merasa tak melihat api, tapi asap. Cuma semuanya menunjuk Studio V sebagai gedung pertama yang dilalap si jago merah. Baru kemudian lantai IV yang seluruh ruangannya digunakan sebagai ruang siaran, mendapat bagian. Menurut Arsyad Subik, kepala Stasiun RRI Nasional, semua instrumen di lantai IV tak lagi sempat diselamatkan. "Untung, api tak lagi merembet ke lantai VI," kata Utik Ruktiningsih, kepala Subdit Pemberitaan, yang ditugasi mengawasi dokumen-dokumen milik RRI. Utik sejak beberapa bulan lalu menginventarisasikan dokumen milik RRI. Rekaman lama, antara lain rekaman pidato Bung Karno, sudah diserahkan ke Arsip Nasional. Yang masih disimpan di antaranya rekaman pidato-pidato Presiden Soeharto, pidato menteri-menteri, dan sejumlah laporan dari daerah. Jumlahnya banyak sekali, dan ada yang tersimpan di lemari besi, ada yang di lemari kayu," tutur Utik kepada Indrayati dari TEMPO. Sabtu malam pekan lalu itu, sekitar pukul 19.20 di Studio V, grup band dari Bank Dagang Negara sedang berlatih untuk rekaman Panggung Gembira RRI-TVRI esoknya di studio itu juga. Sejumlah karyawan TVRI pun menyiapkan pengambilan gambar untuk esok itu. Di panggung dekorasi sudah rapi terpasang - dekor ini pun akhirnya terlalap api. Sekitar pukul 19.30 anggota band kaget melihat salah satu lampu di atas panggung berasap, dan terlihat api. Spontan semua anggota band dan crew TVRI mengemasi peralatan mereka. Konon, salah seorang anggota band lalu menghubungi Jasiran, satpam yang malam itu bertugas. Jasiran lalu lari ke Studio V. "Saya melihat api dan asap keluar dari lampu rias di atas panggung. Saya lari ke pemadam api Yamato, tapi karena listrik mati - jadi sulit," tuturnya kepada Budi Kusumah dari TEMPO. Dan, katanya, telepon pun mati. Ia menelepon pemadam kebakaran dari Chase Manhattan Bank, tetangga di sisi selatan RRI. Pemadam kebakaran memang cepat muncul. Tapi cerita lama terulang pula. Gedung RRI Nasional ini pun ternyata agak susah didekati mobil pemadam kebakaran. Mobil masuk dari sisi belakang gedung, yaitu dari Jalan Abdul Muis - jarak yang diperkirakan lebih dekat ke lokasi api, karena dari sisi depan kobaran api tak terlihat. Tapi di situ mobil terhalang gudang penyimpan pemancar - yang sempat diselamatkan. Selain gudang, masih ada pula teras yang memisahkan Studio V dan gedung Siaran Luar Negeri. Akibatnya, air hanya mampu membasahi sisi gedung. Apa boleh buat, sejumlah slang ternyata bocor, menghambat penyemperotan air. "Wah, itu slang-slang sudah tua," ujar Pangdam Mayjen Try Sutrisno, yang malam itu bersama Kapolda Mayjen Soedarmadji ikut menyaksikan kebakaran ini. Pada pukul 22.00 api memang sudah bisa dilokalisasikan. Sekitar pukul 24.00 api sudah tak berarti lagi. Tapi Studio V dan lantai IV telanjur hancur dan hangus. Dan, dua karyawan menjadi korban. Malam itu di lantai VI, di Pusat Pemberitaan, bertugas empat reporter RRI, Joko Saksono, Tanjung, Supriadi, dan Suratno. Joko-lah yang pertama-tama mengetahui ada kebakaran. Lalu mereka berusaha turun. Nana Ramli, karyawan pengemudi, sibuk mengemasi barang-barang. Tapi mereka terlambat. Sesampai mereka di lantai IV, asap tebal telah menyelimuti hampir semua ruangan. Sementara itu, di lantai IV Penyiar Lilies Nursumi Sari tetap membacakan berita pukul 20.00. Ia mencoba bertahan sementara teman-temannya sudah berusaha menyelamatkan diri. Toh, akhirnya ia pun keluar dari ruang siaran. Di luar, masih di lantai IV, Lilies ketemu Joko, Nana Ramli, Supriadi, dan seorang karyawan bernama Sulasman. Joko dan Sulasman berhasil selamat lewat ruangan Siaran Luar Negeri karena mendengar kaca dipecahkan seseorang. Lilies entah mengapa ketinggalan. Tapi nalurinya untuk menyelamatkan diri membawa ibu berusia 36 tahun ini menyelamatkan diri, merayap di sisi luar dinding gedung, berpijak pada lis kaca dan berpegang pada kolom. Ia selamat. Supriadi terjatuh. Nana Ramli yang rupanya tak menemukan jalan keluar, setelah api padam sekitar pukul 01.00, ditemukan terbaring kaku di lantai VIII tak bernapas lagi. Supriadi, 31, bapak dua anak, langsung meninggal sewaktu jatuh. Wartawan RRI bermasa kerja enam tahun yang tinggal di Perumnas Klender, Jakarta Timur, ini langsung mendapatkan kenaikan pangkat dari IIB menjadi IIC. Nana Ramli, bapak empat anak, tinggal di Serang, Jawa Barat. Ia hanya dua minggu sekali menengok anak bininya di Serang. Keluarga Nana di Serang mengetahui musibah ini dari siaran RRI Minggu pagi. Kedua jenazah dimakamkan di permakaman Kelurahan Malaka, Jakarta Timur, Minggu siang. Hingga awal pekan ini kerugian belum bisa dihitung. Gedung berlantai VIII di tanah 6.000 m2 seharga lebih dari Rp 1 miIyar ini mulai digunakan pada 2 April 1977. Di gedung inilah 700 karyawan RRI bekerja. Gedung yang memang mempunyai potensi kebakaran besar, dengan listrik seluruhnya sebesar 600.000 watt, agaknya tak pernah dicek perlengkapan penyelamatan kebakarannya. Senin pekan ini Menteri PU Suyono Sosrodarsono langsung meninjau RRI. Selasa esoknya direncanakan dibentuk tim teknis yang ditugasi menilai konstruksi gedung akibat kebakaran. Untuk sementara tugas-tugas operasional RRI dilakukan di Pusdiklat Radio Dalam, dan tugas-tugas administrasi dipindah ke gedung Departemen Penerangan. RRI lahir pada 11 September 1945. Mula-mula menggunakan gedung warisan NIROM, radio zaman Hindia-Belanda, yang juga terletak di Medan Merdeka Barat. Baru 1977 gedung yang sebagian terbakar selesai dibangun dan langsung RRI Nasional Jakarta pindah ke gedung baru. Sejak 11 September 1983, RRI berada di udara terus-menerus selama 24 jam. "Suara Indonesia", nama siaran luar negeri RRI, kini mengudara 11 jam sehari dalam sembilap bahasa pengantar. Selasa pagi, sejumlah petugas Labkrim Metro Jaya kembali meninjau Studio V, mencari asal api. RRI, meski kini tersaingi oleh banyaknya radio siaran niaga, tetap dianggap sebagai sarana komunikasi nasional yang vital. Musibah yang menimpa gedung di Medan Merdekar Barat itu tentunya menimbulkan bermacam dugaan - sebelum terungkap sebab-sebab yang jelas. Bambang Bujono Laporan Bunga Surawijaya dan A. Luqman (Biro Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus