Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dan menangislah sang gajah putih

"falsafah lima jari" dari gunawan sumodiningrat merupakan ungkapan pedoman yang harus disadari setiap pelaku ekonomi dalam mewujudkan proses pembangunan yang bermanfaat bagi semua pihak.

4 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM Konperensi dan Kongres Nasional Perhimpunan Ekonomi Pertanian (Perhepi) di Jakarta belum lama ini, muncul suatu pertanyaan: di mana sebenarnya letak Perhepi dipandang dari kelompok pelaku ekonomi yang ada dalam masyarakat ini? Saya teringat pada prasaran yang saya sampaikan dalam konpernas: "falsafah lima jari". Dalam falsafah ini, motor penggerak kegiatan ekonomi dapat digambarkan dengan sebuah tangan sebagai alat penting. Ibu jari menunjukkan simbol kekuasaan, kehebatan, kebenaran, dan kebaikan yang diberikan kepada aparat pemerintah, yang diharapkan selalu berbuat baik dan tidak pernah mempunyai itikad tidak baik bagi rakyatnya. Telunjuk, fungsinya sebagai penunjuk ke mana arah yang benar, tetapi tidak mempunyai wewenang untuk melaksanakan. Simbol ini diberikan kepada para "pakar", pemikir, dan pengamat kegiatan ekonomi. Jari manis, yang biasanya merupakan tempat bersemayam cincin, merupakan simbol kekayaan, dan diberikan untuk para pengusaha, investor, jutawan. Kelingking menunjukkan sifat kecil, lemah, dan tidak mempunyai kekuatan. Ini sebagai simbol petani dan wong cilik pada umumnya. Sedangkan jari tengah merupakan penengah yang tidak memihak tetapi mengayomi, melindungi, dan menjadi perantara dari keempat jari yang lain. Jari ini simbol bagi semua pelaku ekonomi yang netral independen, tetapi mempunyai kesamaan pikir dalam mewujudkan cita-cita luhur pembangunan ekonomi yang berkembang tumbuh, memayu hayuning bawono. Jelaslah bahwa masing-masing mempunyai fungsi yang unik dan tidak dapat saling menggantikan kedudukan secara sempurna. Dan tangan akan lebih berfungsi jika kelima jarinya bersatu. Inilah simbol "keikutsertaan" atau "partisipasi" dari semua pelaku dalam kegiatan ekonomi. Dengan mengikutsertakan semua unsur, tangan dapat lebih berdaya guna. Kebersamaan ini juga hanya akan terjadi jika tiap jari dapat "bertoleransi", saling menghargai, tenggang rasa, dan menyesuaikan kemampuan masing-masing. Sebagai misal, kehendak pemerintah (ibu jari) untuk menjangkau si lemah (kelingking) tidak akan mencapai sasarannya tanpa kesediaan kelingking untuk merundukkan diri. Sebaliknya, kelingking juga tak akan bisa mendekat ujung jempol jika ibu jari itu tak mengulurkan kepalanya. Bahkan jari-jari lain yang berdekatan pun tidak dapat mencapai ujung jari-jari yang lain tanpa saling bertoleransi, merundukkan kepalanya. Ungkapan ini merupakan pedoman yang harus disadari oleh setiap pelaku ekonomi dalam mewujudkan proses pembangunan yang bermanfaat bagi semua pihak: harus selalu memperhatikan tenggang rasa, kebersamaan, dan toleransi. Tangan, sebagai simbol motor penggerak kegiatan ekonomi, akan memberikan hasil yang optimal jika ada "partisipasi" semua pelaku ekonomi, disertai "penghargaan yang memadai" terhadap kemampuan dan kemauan setiap pelaku ekonomi. Teringat saya kemudian pada pertanyaan seorang pembahas pada beberapa data tentang indikator perkembangan ekonomi yang ada dalam satu makalah. Di situ terlihat bahwa produktivitas sektor pertanian telah tumbuh dengan angka cukup meyakinkan, dan telah berhasil mengantarkan kita kepada era swasembada beras pada tahun 1985. Namun, ditunjukkan pula adanya ketidakserasian terhadap imbalan yang diterima petani produsen. Yang lebih mengherankan adalah rendahnya nilai tukar yang diterima petani beras dibanding tanaman lainnya. Nilai tukar beras pada 1988 sekitar 15 persen lebih rendah dibanding pada 1976. Kendati demikian, harga patokan yang ditentukan pemerintah tidak lebih menguntungkan petani. Harga beras yang dijaga stabil pada tingkat tertentu lebih banyak menggembirakan konsumen dibanding produsen. Harga pada tingkat konsumen relatif menurun dengan rata-rata 0,4% per tahun selama sepuluh tahun terakhir, sedangkan harga pada tingkat dasar yang diterima petani hanya tumbuh dengan rata-rata 0,2 persen per tahun pada tahun yang sama. Pikiran pun terbayang pada falsafah "lima jari". Sejauh manakah "ibu jari" memperhatikan "kelingking"? Reaksi para peserta sidang sepi. Tidak ada komentar yang menanggapi permasalahan ini. Apakah falsafah "lima jari" belum dipahami, ataukah ini karena pengaruh "ibu jari" yang amat besar terhadap suasana pada saat ini? Padahal, jika hal ini diamati dengan benar, terdapat suatu keadaan yang cukup memprihatinkan. Berdasarkan Sensus Pertanian 1983, jumlah petani gurem dan petani dengan pemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar tercatat lebih dari 50 persen dari jumlah seluruh rumah tangga tani. Tidak mengherankan jika sementara pengamat berpendapat, keberhasilan program pembangunan pertanian yang ditunjukkan oleh angka pertumbuhan sektor pertanian yang tinggi relatif mengorbankan kesejahteraan petani produsen. Terpikir kemudian satu anekdot yang saya peroleh dari seorang ekonom senior dalam suatu seminar nasional. Alkisah, terjadi suatu sayembara dalam suatu pertemuan internasional antara negara-negara berkembang dan negara donor, yang membahas tentang: "Adakah trade off antara pertumbuhan dan pemerataan di negara berkembang". Isi sayembara: bagaimana membuat sang gajah putih, yang merupakan simbol keagungan dan keanggunan negara tuan rumah, Muangthai, menangis. Beberapa negara menampilkan peristiwa-peristiwa khas yang mengenaskan, dalam upaya untuk membuat sang gajah putih menangis karena iba hatinya. Penyajian pertama dimulai oleh delegasi Bangladesh yang menampilkan slide tentang banjir bandang yang menelan sekian puluh ribu korban. Filipina menampilkan tragedi kapal feri. India muncul dengan tragedi Bhopal. Etiopia menampilkan kelaparan yang menjadi-jadi. Tetapi sang gajah tetap saja tenang. Tak setetes pun air mata yang jatuh. Bahkan penampilan peristiwa gempa bumi Armenia yang menelan sekitar ratus ribu korban yang mampu menggetarkan dunia pun tidak mampu mengusik hati sang gajah putih. Pimpinan sidang mulai berbesar hati, karena mendapat bukti bahwa ternyata tak ada keadaan terlalu menyedihkan dan menyayat hati yang perlu dirisaukan. Mendadak seorang delegasi maju ke depan, membawa selembar kertas, dan disampaikanlah kepada sang gajah. Setelah mengamati sejenak, kontan sang gajah menjatuhkan diri dan menangis tersedu-sedu. Para hadirin pun terheran-heran. Kenapa sang gajah menangis hanya karena membaca secarik kertas? Pimpinan sidang pun memberi penjelasan: kertas tersebut menyajikan dua tabel dari Biro Pusat Statistik. Tabel pertama menunjukkan angka pendapatan nasional yang tumbuh dengan rata-rata 7,2 persen selama tahun 1970-1983, dan tabel kedua menunjukkan menurunnya nilai tukar yang diterima petani padi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus