SAYA tergelitik bikin komentar oleh tulisan Onghokham berjudul Birokrasi, dari Hindia Belanda (TEMPO, 29 Desember 1984, Kolom). Dalam berbagai bacaan, Maarschalk Daendels - oleh lidah Melayu pangkat militer itu berubah menjadi masgalak - memang diakui sebagai administrator dan pembawa konsep pemerintahan modern ke Hindia Belanda. Ketika ia sebagai gubernur jenderal (gubjen) tiga setengah tahun (Januari 1808 sampai dengan Mei 1811), gebrakan pertama yang dilakukannya ialah reformasi seutuhnya sistem pemerintahan. Ia membagi-bagi wilayahnya ke dalam bentuk provinsi, keresidenan, dan kabupaten. Menghadapi ancaman invasi Inggris, semua bupati di Jawa, yang semula penguasa otonom, diangkatnya sebagai pegawai negeri dengan pangkat letnan kolonel. Sang gubernur. Jenderal yang menyandang gelar doktor dalam ilmu hukum itu juga merombak sistem peradilan Hindia Belanda, dan untuk pertama kalinya dibentuk badan pemeriksa keuangan. Juga, menghadapi korupsi yang sudah merajalela sejak masa VOC, tak ayal ia membikin kampanye antikorupsi dan melarang semua bentuk pungli. Berhasilkah Daendels memberantas korupsi? Dalam hubungan ini saya tidak sependapat dengan Bapak Onghokham, yang menyimpulkan bahwa usaha itu berhasil. Dan ketidak berhasilan Daendels setidaknya berpulang pada dirinya sendiri. Berita buruk itu memang tidak selalu tampak dalam arsip dan publikasi kolonial, yang layaknya menyodorkan cerita-cerita bagus tentang tokoh-tokoh besarnya, dan sering mengecoh kita. Dagelan seperti itu juga berlaku buat masa pemerintahan gubernur Inggris Thomas S. Raffles. Itu tampak dari dua jilid bukunya, The History of Java, yang dikupas habis oleh Prof. Syed Hussein Alatas. Tidak kurang dari Bernard H.M. Vlekke, profesor sejarah dan bekas sekretaris jenderal Lembaga Sejarah Pemerintah Belanda di Roma, dalam bukunya The Story of the Dutch East Indies (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1945) yang mengungkapkan kebagusan dan kebobrokan Daendels. Pada halaman 135, Profesor Vlekke menceritakan ihwal kerakusan dan kerusakan Daendels. Dengan gaji 130.000 guilders setahun, ditambah dengan berbagai tunjangan, sang gubjen masih memprotes keras imbalan kerjanya yang dinilainya tidak memadai . Secara telanjang dia menya-lahgunakan kekuasaannya. Tanah tanah di wilayah Buitenzorg (Bogor) di-bukukan atas namanya, untuk kemudian dijual kembali kepada pemeri-ntah Hindia Belanda yang dipimpinnya. Anda mau tahu berapa keuntungan yang digasak dan masuk ke kantung pribadinya? 900.000 guilders ! Hampir dua kali lipat dari keseluruhan gajinya selama memangku jabatan gubjen. Jika diukur dengan nilai tukar guilders masa itu, agaknya cukup buat tujuh turunan. Jadi, korupsi yang berkelaziman pada masa VOC sesungguhnya berkesinambungan pada masa pemerintahan Masgalak Daendels. Karena itu, meminjam istilah Gepeng, tentunya "masih untung", sekiranya benar kesimpulan Pak Ong bahwa sikap "babu pengasuh" birokrat kolonial sajalah yang berkelanjutan hingga masa-masa sesudahnya. Andaikan lebih dari itu, masya Allah! MINTARA DHARMA 68 Hemlock Street Arlington, MA 02174 USA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini