ORGANISASI para ulama menanggalkan Islam sebagai asasnya, kedengarannya janggal. Tapi bagaimana prospek Islam di masa datang, setelah Muktamar NU ke-27? TEMPO, 29 Desember 1984, menampilkan pikiran-pikiran beberapa in-telektual Muslim yang terhormat. Abdurrahman Wahid, intelektual yang bintangnya kian mencuat lewat ideo-logi kulturalnya, masih saja asyik dengan utopianya memformulasikan Islam yang keindonesiaan. Akan halnya Harun Nasution, ia berpendapat, "Dalam Islam yang ada hanya dasar dasar bernegara." Kemudian ia mencoba berdalih "Indonesia, yang berdasarkan Pancasila ini, sudah mencerminkan diri sebagai salah satu negara Islam dengan bentuk republik yang berasaskan musyawarah seperti yang berlaku di masa Khulafairrasyidin ." Seorang yang jujur dalam membaca sejarah Indonesia pasti mengerti, Indonesia di bawah sistem Pancasila sama sekali tidak membutuhkan legalisasi apakah ia memiliki model negara Islam atau sekuler. Suatu negara, yang sebagian dari dasar-dasar bernegaranya diajarkan Islam, tidak dapat dikategorikan sebagai negara Islam. Akan halnya asas musyawarah, yang dilatarbelakangi Islam murni, akan sangat berbeda dibanding yang tidak dilatarbelakangi sistem Islam. Tokoh lain, Nurcholish Madjid, berkata, "Nabi Muhammad sendiri tak secara tegas merumuskan bahwa yang ia bentuk itu sebuah negara." Selanjutnya, "Hijrah nabi ke Medinah, menurut saya, karena beliau tak bisa melaksanakan agamanya di Mekkah, bukan karena tak bisa mendirikan negara di Mekkah. Nabi sendiri tak pernah menamakan Medinah sebuah negara Islam." Argumentasi Nurcholish tidak meyakinkan. Benar Nabi saw. tidak pernah memproklamasikan Medinah sebagai negara Islam, tapi adakah nas (dalil Qurani Sunah) yang dapat dijadikan argumen bahwa Medinah bukan negara Islam? jika Nabi saw. tidak merumuskan bahwa yang ia bentuk itu sebuah negara lebih dahulu harus dipahami tugas diutusnya beliau sebagai nabi dan rasul. la diutus Allah swt. bukan untuk mendirikan negara, kemudian menjadi penguasa tertingginya dan menjadlkan Islam sebagai sistemnya, seperti penguasa-penguasa lain waktu itu- Heraklius, misalnya. Nabi dihadirkan oleh Allah dalam rangka menyampaikan pesan tunggal: proklamasi tauhid, membebaskan manusia dari segala bentuk kekuasaan selain kekuasaan Allah swt. Rasulullah menyelesaikan tugas itu dengan amat sempurna. Selanjutnya menghadap llahi, meninggalkan para sahabatnya sebagaimana mestinya seorang nabi - bukan sebagai mana mestinya seorang penguasa. Tegasnya, istilah "negara" ( ad-daulah) memang tidak berasal dari Nabi, karena sistem Islam yang dibawanya terlalu luas bagi pengertian negara yang sempit. Di sini pendapat Endang Saifuddin Anshari kiranya paling bisa diterima: "Sebuah negara, yang diletakkan atas dasar Islam, menjunjung tinggi nilai nilai norma Islam, dapat saja kalau mau disebut negara Islam." Ada pertanyaan, konsep yang diterapkan itu 'kan keadaan zaman Nabi, 1400 tahun lampau tidak cocok diterapkan di zaman sekarang. Jawabnya: Islam tidak mela-rang manusia membuat aturan sepanjang tidak bertentangan dengan syariat. Keangkuhan intelektual Nurcholish lebih tampak ketika mengomentari peristiwa hijrah Nabi ke Medinah. Tidak ada dalil Quran ataupun fakta sejarah bahwa terjadinya hijrah disebabkan Rasulullah tak mampu melaksanakan agamanya di Mekkah. Peristiwa hijrah semata-mata perintah Allah. Rasulullah, atas kebijaksanaan sendiri, mula-mula mengizinkan sahabat sahabat beliau hijrah ke Habsyah, ketika mereka tak sanggup lagi menahan berbagai penganiayaan. Rasul sendiri tak menyertai mereka - tetap di Mekkah menyeru kepada keimanan Islam. Baru setelah Allah memerintahkan hijrah, dia bersama kaum Muslimin berangkat ke Medinah. Sejarah dakwah para nabi menceritakan, tak ada seorang nabi meninggalkan kaumnya akibat kegagalan dakwah. Kecuali Nabi Yunus a.s., dan tindakannya dicela Allah, dan Yunus bertaubat (Q.S 21:87, 37:142). Kita terlalu banyak menghabiskan waktu untuk ber-jidal pada soal-soal yang tidak prinsip. Masalah "negara Islam" bukanlah persoalan esensial sekarang. Kesediaan menjadikan syariat sebagai sumber segala sumber hukum, itulah esensi. Jika kaum Muslim ikhlas menjadikan wahyu Allah sebagai referensi utama, meletakkan syariat di atas segala ideologi man-made, istilah negara Islam takkan terus-menerus menjadi perdebatan yang membosankan ini. Kesalahpahaman dapat dihindari jika agak sejenak saja merenungkan peristiwa sejarah - ketika pendiri negara ini sadar akan timbulnya berbagai masalah kelak, dan demi menjaga persatuan bangsa maka dalam Piagam Jakarta dicantumkan kalimat: "Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya". Setelah itu kelompok Islam tak lagi menuntut yang lebih besar, meski masih ada yang tidak puas. Tapi begitu kalimat itu dihapuskan, pertentangan tak bisa dihindarl. Nah, apa sebenarnya yang dikehendaki sekarang? "Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hatinya mengingat Allah dan kebenaran yang telah turun (kepada mereka) janganlah seperti orang-orang yang telah ditu-runkan kepada mereka, kemudian telah lama masa yang mereka tempuh, lalu hati mereka menjadi kesat. Dan kebanyakan mereka orang-orang fasik" (Q.S. 57:16). SARIPIN SAGIM Kompleks Kolombo Jl. Rajawali 10 Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini