Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Penggantian Gubernur

Tentang para gubernur yang telah memerintah di sulawesi utara. (kom)

2 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI ujung 1984 sampai awal 1985 di media massa banyak muncul berita sekitar proses pergantian gubernur Sulawesi Utara. Kami, yang pernah menjadi warga Manado dan mengamati pergantian kepemimpinan utama di Sulawesi Utara, ingin mengomentari. Masalah pencalonan gubernur urusan DPRD di sana. Tapi tentunya rakyat Sulawesi Utara mulai bertanya-tanya, siapakah yang bakal menjadi tonaas (orang besar) dari miangas kepopayato (daerah perbatasan) Sulawesi Utara periode 1985-1990. Di utara Sulawesi yang belakangan terkenal dengan aroma cengkihnya itu, dulu pernah lahir putraputra Minahasa yang berkaliber nasional, seperti Ratulangie, Mononutu, dan Maramis. Daerah muda usia dalam struktur peme-rintahan Indonesia itu pernah pula bergejolak karena Permesta-nya. Daerah itu pada 31 Maret 1960 dikukuhkan secara resmi sebagai Provinsi Sulawesi Utara dan Tengah, dengan Manado sebagai ibu kota. Selanjutnya, sejarah Sulawesi Utara mencatat Arnold Baramuli, jaksa tinggi militer waktu itu, putra daerah Sulawesi, sebagai gubernur ke-1. Lalu dalam periode selanjutnya kita jumpai tokoh kawanua Hein Victor Worang (gubernur dua periode) yang sempat membawa daerah ke dalam kondisi pembangunan yang meng-gebu-gebu hampir semua lini memperlihatkan kegai-rahan membangun. Suksesnya antaralain dapat kita lihat dalam toleransi beragama dengan terselenggaranya MTQ di Manado yang berhasil baik. Namun, ada yang memprihatinkan dalam pola kepemimpinan Worang: dalam pertum-buhan kehidupan terasa kurang menguntungkan strategi jangka panjang. Disadari atau tidak, masyarakat di Sulawesi Utara yang terdiri dari suku-suku Minahasa, Gorontalo, Mongondouw, dan Sangir, dipertemukan pada suatu kenyataan: kepemimpinan daerah terletak di tangan satu "sistem clan", yakni kekerabatan. Willy Lasut kemudian hadir membawa kesegaran. Dalam waktu singkat ia berhasil menggoyahkan kekuatan yang dikembangkan Worang. Lasut dengan bersemangat meng-imbanginya dengan hal-hal spiritual - sayang, porsinya tampaknya berlebihan. Posisinya itu membuat dia tergelincir ditimpa kekuatan kekuatan daerah yang belum siap menghadapi strategi pembangunan daerah dalam konteks nasional. Keguncangan pun terjadi. Rasanya bobot persoalan itu tak mudah dilupakan. Maka, tampil Erman Harirustaman dari Departemen Dalam Negeri (Depdagri), sebagai penjabat gubernur sekaligus bertugas mempersiapkan calon gubernur definitif sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1974 dan Peraturan Mendagri Nomor 10 Tahun 1974. Dari sekian calon, sesuai dengan hasil penggodokan dan melalui aspirasi rakyat di sana, terpilih seorang putra daerah yang juga putra terbaik ABRI, tentunya. Selama lima tahun tampil Gustaaf Hendrik Mantik, Pangkowilhan I Sumatera-Kalimantan Barat, membawa harapan baru. Mantik datang dengan "kekuatan kosong" guna menetralisasikan bentrokan-bentrokan yang terjadi karena benturan kekuatan terhadap pola kepemim-pinan yang dikembangkan pendahulunya, Worang dan Lasut. "Budaya kosong" berhasil timbul di permukaan. Mantik berada pada posisi di atas semua kelompok dan menggerakkan semua itu guna menghasilkan perimbangan pemba-ngunan materiil dan spiritual. Dengan pernyataan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat Sulawesi Utara, yang disampaikan melalui parlemen di daerah, berkat kepemimpinan dan keber-hasilannya, Mantik didaulat kembali menduduki jabatan periode berikutnya. Namun, di ujung 1984, saat puncak-puncaknya, Mantik tetap pada pilihan kartunya: mundur. Semua pihak merasa bagai dihempaskan badai. Di balik kisah sukses itu, di periode kepemimpinan Mantik muncul kasus manipulasi reboasasi hutan yang memprihatinkan. Namun, bagaimanapun gaya kepemimpinan Mantik, kita salut pada "budaya kosong"-nya yang mampu men-ciptakan kestabilan nasional. Kini masyarakat Sulawesi Utara akan memiliki kepemimpinan tipe apa lagi? Yang pasti, kita mengharapkan agar yang tampil orang yang benar-benar mampu, bukan figur "titipan", dan memahami aspirasi masyarakat Sulawesi Utara yang terkenal kritis. Pengalaman membuktikan, bukan hanya di Sula-wesi Utara, tapi juga terjadi di mana-mana di Maluku, di Kalimatan - "ajang politik" setempat selalu diaransir orang luar daerah. Akhirnya, kami ingin mengutip kata-kata mutiara berikut: Betapapun ba-gusnya suatu ide atau konsepsi, bila tidak disertai kerja keras dan disiplin mewu-judkannya, hasilnya akan berupa puing-puing kehancuran. (Jenderal TNI Amirmachmud). HERRY RD. NACHRAWY Jalan Lamadukelleng 6 Ujungpandang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus