Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cara Halus Menaikkan Harga BBM

Apakah rencana Pertamina mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92 merupakan cara halus menaikkan harga BMM?

27 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pertamina berencana menghapus Pertalite dan menggantinya dengan Pertamax Green 92.

  • Pergantian ini sesungguhnya hanya cara halus untuk menaikkan harga BBM.

  • Inflasi dan beban ekonomi di masyarakat tak akan terhindarkan.

Ronny P. Sasmita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertamina berencana menghapus bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan menggantinya dengan Pertamax bersubsidi dengan nama Pertamax Green 92. Pergantian ini sangat tidak sesuai dengan istilah “pergantian” itu sendiri karena harga Pertamax Green 92 direncanakan jauh lebih mahal dibanding harga Pertalite. “Pergantian” seharusnya menjurus pada pertukaran setara atau aple to aple, bukan apel dengan buah lain yang lebih mahal. Apakah setara antara Pertalite yang dibanderol dengan harga Rp 10 ribu per liter dan Pertamax Green 92 yang dihargai Rp 13.500 per liter? Jawabannya tentu sangat tidak setara.

Mengapa Pertamina berniat mengganti Pertalite dengan Pertamax Green 92? Apakah gagasan tersebut sebenarnya merupakan upaya pengurangan subsidi atau kenaikan harga BBM atau mengembalikan harga BBM ke harga keekonomiannya atau apa? Jika memang demikian, bagaimana imbasnya pada anggaran dan inflasi serta ekonomi masyarakat?

Sebenarnya, kalau kita menelusuri rencana strategis pemerintah sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, niat awal penciptaan merek dagang Pertalite adalah sebagai “bridging product” (produk antara) sebelum menuju ke Pertamax alias varian nonsubsidi untuk kemudian menghapus atau meninggalkan BBM jenis Premium. Dengan kata lain, pemerintah memang memiliki tujuan jangka panjang untuk menghilangkan subsidi BBM dan mengembalikan harganya ke mekanisme pasar (liberalisasi harga). Nah, tujuan awal ini sebenarnya sudah dicapai ketika Premium dihapus. 

Setelah itu pemerintah pelan-pelan mencoba membiarkan harga Pertalite mulai mengikuti harga pasar, tapi belum dilepaskan sepenuhnya dari subsidi alias nilai subsidinya dikikis selapis demi selapis ibarat mengupas bawang. Jika kemudian pemerintah ingin menghapus Pertalite dan menggantikannya dengan Pertamax Green 92 yang kemudian disubsidi, tujuan untuk beralih ke Pertamax sudah hampir tercapai, tapi Pertamax-nya memakai label green dan harganya masih disubsidi.

Artinya, pemerintah menciptakan jenis BBM baru yang harganya di atas harga Pertalite, tapi masih di bawah harga Pertamax. Pertalite akan dihapus seperti yang pernah terjadi pada Premium.

Dari harga yang diperbincangkan, yakni sebesar Rp 13.500 per liter untuk Pertamax Green 92, harganya memang lebih mahal dibanding Pertalite dan mendekati harga Pertamax asli. Artinya, pemerintah dan Pertamina sebenarnya memang berniat menaikkan harga BBM pengganti Pertalite (baca: bukan Pertalite) di satu sisi, tapi menjadikannya sebagai jenis pengganti Pertalite di sisi lain (baca: Pertalite dihapus).

Dengan begitu, masyarakat mau tak mau harus membeli Pertamax Green 92, yang diposisikan sebagai jenis baru yang akan menggantikan Pertalite. Kebijakan pergantian tersebut sebenarnya adalah rencana kenaikan harga BBM dengan cara yang halus, tapi cukup tricky dan sedikit picik, jika ditelaah secara lebih jauh.

Bagaimana dampaknya terhadap anggaran untuk alokasi subsidi dalam APBN 2024? Sebagaimana judul terselubungnya sebagai kebijakan menaikkan harga BBM, maka, saya kira, semestinya anggaran untuk alokasi subsidi akan menjadi lebih sedikit. Apalagi subsidi untuk Pertalite memang cukup besar. Jika Pertalite dihapus dan diganti Pertamax Green 92 dengan harga Rp 3.500 lebih mahal dibanding Pertalite, otomatis subsidinya berkurang karena akan ada biaya Rp 3.500 yang dibebankan kepada konsumen alias tidak lagi ditanggung APBN.

Mengapa bisa begitu? Bila Pertalite dihapus, otomatis anggaran subsidinya yang besar akan hilang. Pertalite yang dihapus itu akan diganti dengan produk yang lebih mahal sehingga anggaran subsidi untuk produk baru itu bakal lebih sedikit. Meskipun ada peningkatan oktan menjadi 92, saya kira, nilainya tak akan sampai Rp 3.500 per liter. Jadi, sudah bisa dipastikan bahwa subsidinya akan mengecil, jauh di bawah subsidi untuk Pertalite yang ditanggung pemerintah selama ini.

Jika kembali ke logika pemerintah di atas, jelas hal semacam itulah yang diinginkan pemerintah karena akan berdampak positif pada anggaran. Subsidi akan berkurang, maka beban anggaran untuk subsidi otomatis akan berkurang. Apalagi belum lama ini Menteri Keuangan Sri Mulyani rajin sekali mengeluhkan beban subsidi energi dalam RAPBN 2024. Jika rencana pergantian Pertalite dengan Pertamax Green 92 benar-benar diwujudkan pada 2024, hal itu sudah sesuai dengan aspirasi fiskal pemerintah, terutama Kementerian Keuangan.

Lalu, bagaimana dengan inflasi dan daya beli masyarakat? Tak bisa tidak, tentu hal ini akan berpengaruh terhadap inflasi. Dengan harga Pertamax Green 92 yang lebih tinggi, pengeluaran transportasi, baik manusia maupun barang, akan naik Rp 3.500 per liter.

Hal ini akan berimbas ke berbagai sektor. Lihat saja saat harga Pertalite naik dari Rp 7.600 ke Rp 10 ribu per liter pada tahun lalu, inflasi kita naik berturut-turut dalam beberapa bulan dan daya beli masyarakat tertekan cukup besar sehingga pemerintah harus memberikan bantuan sosial BBM. Kini, dengan cara halus menaikkan harga BMM melalui Pertamax Green 92, inflasi dan dampaknya terhadap daya beli masyarakat tak terhindarkan.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke email: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ronny P Sasmita

Ronny P Sasmita

Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus