Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
WHO memperkirakan 80-180 ribu tenaga kesehatan meninggal karena Covid-19.
Kekuatan besar tenaga kesehatan sudah terbukti ketangguhannya.
Namun peran dokter dalam politik kini telah hilang.
Diah Satyani Saminarsih
Penasihat Senior Direktur Jenderal WHO untuk Bidang Gender dan Kepemudaan serta pendiri Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nico Gamalliel
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akmal Taher
Guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Mendekati tahun kedua pandemi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan sebuah kertas kerja yang memuat estimasi bahwa 80-180 ribu tenaga kesehatan di seluruh dunia meninggal karena Covid-19. Bila menggunakan skenario medium, diperkirakan jumlahnya 115.500 jiwa. Kertas kerja ini dibuat WHO bersama para mitra pengarah untuk memperingati Tahun Tenaga Kesehatan Internasional 2021. Estimasi tersebut diambil selama periode Januari 2020 hingga Mei 2021 berdasarkan 3,45 juta kematian karena Covid-19 yang dilaporkan kepada WHO. Angka ini pun masih dianggap jauh lebih rendah daripada jumlah kematian akibat Covid-19 yang sesungguhnya, yaitu sekitar 60 persen lebih besar daripada yang dilaporkan.
Situasi di Indonesia tidak berbeda dengan kondisi di belahan dunia lain. Sejak pandemi mulai merebak pada awal 2020, salah satu risiko infeksi terbesar berada pada tenaga kesehatan. Jangan bayangkan tenaga kesehatan ini cuma yang bekerja merawat pasien khusus Covid-19 di rumah sakit. Mereka juga termasuk tenaga kesehatan di layanan kesehatan primer, pusat kesehatan masyarakat maupun klinik pratama, dokter dan perawat di poliklinik, bidan yang membantu persalinan, serta kader kesehatan yang memberi dukungan sosial dan logistik untuk pasien yang sedang menjalani isolasi mandiri. Semuanya berjibaku dengan kemungkinan tertular setiap saat. Terbukti, banyak tenaga kesehatan, termasuk para guru dengan keahlian khusus, yang terinfeksi dan meninggal. Hal ini tentu merupakan sebuah kerugian intelektual amat besar yang, kalaupun bisa, akan butuh waktu sangat lama untuk mengembalikannya.
Usaha melindungi tenaga kesehatan dalam perang berkepanjangan ini memang telah dilakukan, dari dukungan pemerintah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, upaya swadaya masyarakat untuk memastikan para tenaga kesehatan memakai alat pelindung diri (APD) lengkap, hingga prioritas vaksinasi Covid-19. Namun hingga kini masih ada daerah-daerah di Indonesia yang tenaga kesehatannya belum divaksin lengkap.
Berbagai inkonsistensi dalam penanganan pandemi, seperti meremehkan kemungkinan terjadinya ledakan kasus dan rendahnya angka testing serta tracing, berlawanan dengan tujuan respons pandemi yang seharusnya untuk menyelamatkan nyawa manusia. Berbagai hal ini berujung pada kegamangan publik dalam menghadapi pandemi. Ini sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu terjadi bila sejak awal ada keberpihakan jelas pada penyelamatan nyawa manusia dan kesehatan populasi. Dampak terbesar situasi ini dirasakan para tenaga kesehatan, yang setiap hari selama 20 bulan mau tidak mau harus adu tangkas dengan maut yang mengancam nyawa.
Peran Tenaga Kesehatan
Selain sebagai pemberi layanan kesehatan, tenaga kesehatan banyak berperan sebagai tempat bertanya dan sumber informasi kesehatan paling dipercaya publik selama masa pandemi. Survei Global Trustworthiness Index yang dilakukan lembaga riset Ipsos melaporkan, pada 2021, dokter menjadi profesi yang paling dipercaya di dunia, diikuti ilmuwan dan guru. Fakta ini mengungkap potensi lebih besar dokter untuk ikut membangun literasi kesehatan publik yang baik.
Pada artikel kami dalam The Lancet (2021, Vol 398), kami mengutip Hans Pols dalam bukunya Nurturing Indonesia. Pols menyimpulkan, meski dulu dokter dan mahasiswa kedokteran memiliki peran sentral dalam perjuangan bangsa, "kedokteran tidak berkembang setelah kemerdekaan". Kita memang mengenal Cipto Mangunkusumo, Sutomo, Radjiman Wedyodiningrat, dan tokoh dokter-politikus lain yang memiliki andil penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun lebih dari 200 ribu dokter Indonesia saat ini sepertinya berhadapan dengan tantangan struktural dan fundamental untuk mampu memberi contoh bahwa setelah periode kemerdekaan juga tumbuh sosok panutan bangsa seperti nama-nama besar itu.
Pendapat Pols ini sejalan dengan pemikiran Rudolf Virchow (1821-1902), pendiri kedokteran sosial. Virchow menyebutkan, "Kedokteran adalah sains sosial—dan politik adalah kedokteran dalam skala lebih besar." Konsep dan esensi penting ini sepertinya raib dari perhatian dokter di tengah fokus utama untuk menolong pasien dalam lingkup fasilitas kesehatan semata. Akibatnya, "pasien" dalam jumlah jauh lebih besar mewujud dan menumpuk di luar fasilitas kesehatan tapi luput diperhatikan. Begitu relevannya pemikiran Virchow dengan kondisi dunia dalam pandemi saat ini dan tentang pentingnya transformasi layanan kesehatan primer sebagai jalan keluar dari pandemi, sehingga World Health Summit 2021 mengangkatnya sebagai tema pembahasan khusus.
Dalam artikel tersebut, kami berpendapat hilangnya sensoris politis dari peran dokter di Indonesia bisa dianggap sebagai salah satu kontributor kegamangan bangsa dalam menghadapi pandemi. Nilai keteladanan dan perjuangan yang dianut para dokter sebelum periode kemerdekaan bisa jadi memudar seiring dengan kemapanan tata bernegara Indonesia setelah merdeka. Namun tetap tidak boleh dilupakan bahwa, seiring dengan kemajuan dan kemapanan dinamika berbangsa, peran tenaga kesehatan lain telah menjadi sama strategisnya. Kedokteran dan kesehatan masyarakat, termasuk unsur kebijakan keduanya, sejatinya merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama. Bila kita bisa bersepakat mengambil pandemi sebagai titik balik untuk membangun kembali, inilah elemen amat penting yang perlu ditata ulang seiring dengan upaya kita untuk mengembalikan kenormalan pranata sosial yang luluh lantak dihantam pandemi.
Menjadi penting bagi dokter bersama para tenaga kesehatan lain untuk meningkatkan perannya dalam "menyembuhkan masyarakat". Mereka perlu mengambil peran lebih aktif dalam skala lebih besar, termasuk dalam politik dan perumusan kebijakan, dengan tetap berpegang pada prinsip etis dan evidence-informed. Hanya dengan cara demikian, kita menunjukkan bahwa sebagai bangsa kita berpegang pada nilai luhur kemanusiaan dan mampu menguasai kemudi negara yang berpihak pada kesehatan populasi.
Refleksi untuk Semua
Setiap nyawa berharga. Kehilangan satu nyawa saja tidak bisa dianggap biasa, apalagi jutaan nyawa yang telah berpulang, termasuk para tenaga kesehatan. Pandemi ini telah mencabik-cabik hubungan sosial (social fabric) kita. Apa yang kita ketahui sebelumnya, sekarang tidak ada lagi. Ketika dunia memperingati 2021 sebagai tahun tenaga kesehatan sekaligus kedua kalinya Indonesia memperingati Hari Dokter Nasional pada masa pandemi, inilah saat yang tepat untuk berefleksi. Bagi perumus kebijakan, apakah langkah yang diambil selama masa pandemi, termasuk untuk melindungi dokter, tenaga kesehatan, dan masyarakat, sudah tepat dan efektif? Lebih besar lagi, apakah kebijakan dan arah negara kita sudah berpihak pada kesehatan sebagai hak dasar? Bagi dokter, apakah siap melihat kembali peran pentingnya sebagai bagian dari sebuah kelompok, bukan hanya kedokteran, melainkan juga kesehatan, komunitas, hingga puncak perumusan kebijakan?
Ketika pandemi belum kunjung usai, berbagai masalah yang terkait dengan kesehatan masih memerlukan kontribusi aktif semua pihak. Kekuatan besar yang sudah terbukti ketangguhannya berada di tangan para tenaga kesehatan. Inilah yang menjadi titik terang di tengah pagebluk berkepanjangan: dengan menggunakan daya ungkit strategis para tenaga kesehatan, bangsa ini masih mungkin untuk menang dalam pertempuran mengakhiri pandemi. Harus diingat, perjuangan kita hari ini adalah untuk generasi muda Indonesia yang berlipat ganda lebih tangguh, lebih unggul, dan lebih rekat dalam menjaga kesehatan bangsa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo