Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Debat Kusir Kandidat RI-1

Debat calon presiden hanya jadi pertunjukan politik. Tak ada jaminan misi ideal kandidat akan didukung partai politiknya.

14 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo/Kendra Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEBAT perdana para calon presiden yang digelar Komisi Pemilihan Umum pada Selasa malam lalu masih penuh seremoni dan basa-basi. Meski menarik untuk mengukur kapasitas intelektual dan kematangan emosional para calon presiden dan wakilnya, retorika mereka hanya pertunjukan politik belaka. Tanpa jaminan dukungan koalisi partai politik di belakangnya, para kandidat RI-1 ini kelak tak bakal bisa berbuat banyak. Perlu reformasi sistem yang mendasar agar presiden terpilih tak tersandera kartel politik dan oligark, seperti yang terjadi selama ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Ekspektasi publik untuk menyaksikan debat capres yang substansial dan argumentatif bisa jadi terlalu berlebihan. Sejak awal KPU menyiapkan debat capres sebagai panggung pertunjukan belaka. Tanpa panelis dan moderator yang berwenang mengendalikan arah debat, sulit mengharapkan terjadi dialog cerdas dan kritis antar-capres. Apalagi dua dari enam segmen debat yang disiapkan KPU hanya pemaparan visi-misi dan pernyataan penutup. Walhasil, tak ada ruang bagi pendalaman dari moderator atas argumentasi dan janji politik yang diutarakan para kandidat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat segmen lain debat capres memang berisi tanya-jawab. Namun sesi ini juga terasa tidak maksimal. Pasalnya, daftar pertanyaan dalam debat yang disiapkan oleh para panelis cenderung umum dan normatif. Tanya-jawab di antara para kandidat memang diselipkan, tapi waktunya juga sangat terbatas. Karena itu, jangan heran sebagian netizen menilai debat capres ini terasa dangkal dan jarang menyentuh esensi persoalan.

KPU memang melibatkan 11 akademikus sebagai panelis debat, lebih dari dua kali lipat jumlah panelis pada debat calon presiden 2019 yang hanya lima orang. Namun lagi-lagi para panelis itu hanya bertugas menyusun pertanyaan dalam amplop yang diundi dan dibacakan moderator. Selebihnya, para akademikus terkemuka di berbagai kampus penting di negeri ini hanya diminta duduk manis di kursi masing-masing. Dengan format debat semacam itu, para panelis tidak memiliki kesempatan untuk mendalami atau menguji jawaban para calon presiden. Jika sekadar untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan normatif, KPU tak perlu repot-repot mendatangkan para panelis dari berbagai daerah ke Jakarta.  

Pelaksanaan debat semakin tidak bermutu karena ulah para pendukung capres masing-masing di arena debat. KPU memang mengundang para pendukung untuk hadir di arena debat dengan sejumlah larangan, seperti tidak membawa atribut kampanye. Namun mereka leluasa bersorak dari pinggir podium. Longgarnya aturan dan tidak adanya sanksi tegas membuat debat calon presiden menjadi ajang pertunjukan sorak-sorai pendukung.

Tanpa perubahan format debat yang mendasar, harapan publik untuk menyaksikan debat calon presiden yang penuh adu pikiran dan gagasan tidak mungkin bisa terwujud. Karakter sesungguhnya para kandidat dan strategi mereka dalam mengelola berbagai masalah negeri ini juga tak bisa tuntas diuji.

Masalahnya, kalaupun format debat capres diperbaiki, janji-janji manis yang disorongkan oleh para kandidat belum tentu bisa diwujudkan. Paparan visi dan misi yang sekilas keren dan membumi bisa saja disiapkan oleh para konsultan politik berbiaya mahal. Setelah 25 tahun reformasi, belakangan kita baru menyadari banyak janji kampanye yang hanya bisa diimplementasikan dengan negosiasi politik. Tanpa kepiawaian menciptakan konsensus dari perbedaan politik yang ekstrem, tak ada pemimpin yang bisa bekerja dalam sistem demokrasi kita saat ini. Partai politik memegang faktor kunci.  

Tengok saja Prabowo-Gibran yang diusung Gerindra dan Golkar: keduanya merupakan partai pendukung pemerintah. Adapun Ganjar-Mahfud diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang juga merupakan partai penguasa. Begitu pula Anies-Muhaimin yang diusung NasDem dan PKB, yang juga bagian dari koalisi partai pendukung pemerintah.

Kita sama-sama menyadari bahwa selama 10 tahun kekuasaan Presiden Joko Widodo, demokrasi berjalan mundur, pemberantasan korupsi mandul karena KPK dilemahkan, bahkan hukum menjadi permainan penguasa. Walhasil, kecil kemungkinan janji dan retorika politik para capres cukup untuk mengubah situasi menjadi lebih baik. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus