Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Demokrasi bagi Setya Novanto

24 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETYA Novanto merupakan ironi demokrasi. Ketua Umum Partai Golkar ini menapaki jalan politiknya hingga puncak dengan prosedur konstitusional, termasuk pemilihan umum dan musyawarah partai. Berbagai skandal yang menyeret namanya tak pernah menjadi halangan untuk menduduki jabatan publik.

Ia telah empat periode menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Jauh dari tempat tinggalnya di Jakarta, ia memperoleh kursi dari daerah pemilihan Nusa Tenggara Timur. Ketika pertama kali terpilih, pada 1999, ia sebenarnya sedang dalam sorotan. Sebagai Bendahara Golkar, Setya disebut terlibat dalam patgulipat penjualan hak tagih Bank Bali untuk keperluan pendanaan politik partainya. Kejaksaan menyidiknya dalam kasus yang merugikan negara hingga setengah triliun rupiah itu. Toh, ia lolos dan tetap melaju ke Senayan. Perolehan suaranya pada setiap pemilu bahkan selalu tertinggi di daerah pemilihan.

Setya banyak menopang pendanaan Beringin. Ia menjadi anggota Badan Anggaran DPR sekaligus bendahara partainya. Ia kemudian juga memimpin Fraksi Partai Golkar seraya tetap mengurusi kas partai. Dalam tonggak-tonggak karier politiknya itulah berbagai perkara korupsi membawa namanya. Di antaranya kasus suap dalam proyek pembangunan fasilitas Pekan Olahraga Nasional XVIII di Riau. Sejumlah saksi menyebutkan ada pertemuan di ruang kerja Setya untuk membahas tambahan anggaran yang dilumuri suap buat melicinkan persetujuan. Komisi Pemberantasan Korupsi menggeledah ruang kerja Setya pada Maret 2013. Namun lagi-lagi ia lolos.

Ia justru makin kuat dan berkibar. Kemampuan lobinya makin terasah. Di tengah pekatnya perkubuan kontestasi pemilihan presiden 2014 antara kelompok pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto, serta ditopang Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang mengatur pemilihan pemimpin Dewan dengan sistem paket, Setya melenggang ke kursi Senayan-1. Paket pendukung Prabowo menguasai kepemimpinan Dewan. Setya sah memimpin Senayan.

Kontroversi pertama Setya sebagai Ketua Dewan adalah pertemuannya dengan Donald Trump, yang sedang berkampanye untuk kursi Presiden Amerika Serikat, pada September 2015. Ia bersama Wakil Ketua DPR Fadli Zon menghadiri konferensi pers tempat Trump menyebutnya sebagai "orang paling berkuasa dan hebat" di Indonesia. Mahkamah Kehormatan Dewan mempersoalkan pertemuan itu. Setya dianggap menjalankan agenda di luar tugas dan kewenangannya. Mahkamah menjatuhkan hukuman teguran untuk sang Ketua. Sandungan kecil yang tak berarti apa-apa baginya.

Masalah besar muncul ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, yang merasa mendapat dukungan Presiden Jokowi, membuka rekaman percakapan pembahasan kelanjutan bisnis perusahaan pertambangan PT Freeport Indonesia. Direkam diam-diam oleh Presiden Direktur Freeport Maroef Sjamsoeddin, pembicaraan itu melibatkan Setya dan pengusaha Riza Chalid. Mahkamah Kehormatan memproses pengaduan Sudirman. Kejaksaan Agung juga menyidik perkaranya-ia disebut mencatut nama Presiden. Toh, Setya lolos dengan aturan formal: mundur dari kursi Ketua Dewan sebelum Mahkamah menjatuhkan sanksi. Namanya tetap "bersih". Apalagi setelah Mahkamah Konstitusi menyetujui uji materi yang ia ajukan, yakni rekaman digital tidak bisa dijadikan bukti hukum. Kejaksaan pun tak melanjutkan perkaranya.

Dunia seperti terbalik-balik setelahnya. Sudirman, yang membuka skandal "papa minta saham", tersingkir dari kabinet. Sebaliknya, dengan sokongan orang-orang Presiden, Setya memimpin Golkar. Ia secara aklamasi terpilih sebagai ketua umum dalam musyawarah nasional luar biasa di Bali. Ia segera menempatkan dirinya di bawah bayang-bayang Jokowi, dengan mengumumkan Golkar akan mencalonkan mantan Gubernur Jakarta itu pada 2019. Dengan kekuasaan barunya di partai, ia mengambil alih kembali kursi Ketua DPR yang diduduki Ade Komarudin. Prosedur dan perangkat demokrasi formal membuat Setya kembali sah memimpin Senayan.

Dukungan politik itu bisa saja luruh kali ini. Kelihaian Setya berkelit kini berhadapan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Senin pekan lalu, lembaga itu menetapkannya sebagai tersangka kasus megakorupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Ia disangka merekayasa proyek sejak awal bersama antara lain pengusaha Andi Agustinus, tersangka lain kasus ini. Hakim, yang Kamis pekan lalu selesai mengadili dua terdakwa pertama, yakni mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, telah menyatakan proyek Rp 5,9 triliun itu terbukti dikorupsi bersama-sama. Namun Setya tak hendak mundur dari jabatannya.

Sistem politik kita rupanya gagal menghasilkan elite yang menjunjung etika. Partai seolah-olah tidak memiliki nilai-nilai ideal yang diperjuangkan. Instrumen penting dalam demokrasi ini banyak dibajak figur yang pragmatis dan, acap kali, amoral. Para pemilik suara pada setiap pemilihan umum pun sangat toleran terhadap calon bermasalah-besar kemungkinan karena terpapar politik uang. Dalam kondisi politik seperti itulah Setya membangun karier politik dan kini berusaha mempertahankan kekuasaan yang telah digapainya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus