Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BLT sebenarnya untuk mengkompensasi kegagalan pemerintah mengendalikan harga.
Akar persoalan krisis minyak goreng tak benar-benar dibenahi.
Jika diagnosis tak menyeluruh, bukan tak mungkin krisis minyak goreng akan terus berulang.
Pengucuran bantuan langsung tunai minyak goreng untuk masyarakat memang lebih baik ketimbang subsidi barang bagi produsen. Jenis subsidi yang disebut paling awal lebih tepat sasaran, sedangkan yang terakhir hanya menguntungkan kelompok tertentu dan mengganggu kondisi pasar, seperti hilangnya pasokan akibat akal-akalan segelintir orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski tampak cespleng meredam gejolak harga dan memperkuat daya beli kelompok masyarakat yang rentan, bantuan langsung tunai (BLT) hanyalah solusi sementara. Bantuan ini tidak bisa terus-menerus dijadikan sandaran karena bisa menggerus anggaran. Sulit untuk tak menangkap kesan bahwa BLT sebenarnya untuk mengkompensasi kegagalan pemerintah mengendalikan harga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akar persoalan krisis minyak goreng tak benar-benar dibenahi. Minyak goreng yang terjangkau tetap langka, meski Kementerian Perdagangan telah gonta-ganti kebijakan dalam tiga bulan terakhir. Seperti ketika pemerintah tidak berdaya dalam urusan lain, “mafia” akhirnya kembali menjadi kambing hitam. Tapi kali ini cuci tangan tersebut memercik ke muka sendiri. Ketika harga minyak goreng membubung, sebagian orang mengolok-oloknya sebagai kekalahan pemerintah dari “mafia”.
Sindiran itu makin mengena karena Indonesia adalah pemasok utama minyak sawit mentah dunia. Dengan produksi sekitar 47 juta ton crude palm oil atau CPO per tahun, kita menyuplai 42 persen CPO secara global. Ironisnya, minyak goreng susah dicari dan, kalaupun ada, harganya tinggi. Bahkan sekarang sebagian warganya—sebanyak 20,5 juta keluarga miskin dan 2,5 juta pedagang kaki lima—harus diberi BLT khusus minyak goreng karena daya belinya ambruk.
Pemerintah memang telah mengoreksi beberapa kebijakannya yang buruk. Kini, domestic market obligation CPO tak ada lagi—diganti dengan tarif pungutan ekspor dan bea keluar yang lebih tinggi. Juga, penghapusan harga eceran tertinggi minyak goreng kemasan. Namun kebijakan tersebut belumlah cukup untuk membuat minyak goreng dengan harga terjangkau membanjiri pasar.
Ketika harga CPO tak terkendali seperti sekarang, pemerintah, misalnya, bisa menghapus lebih dulu kebijakan B30—bahan bakar dengan 30 persen biodiesel dan 70 persen solar. Semakin tinggi kandungan biodiesel dalam bahan bakar campuran tersebut, semakin banyak CPO yang dibutuhkan untuk diolah menjadi biodiesel. Mengembalikannya ke B20 tak ada salahnya. Dengan begitu, sebagian pasokan CPO untuk biodiesel bisa diolah menjadi minyak goreng.
Sudah jadi rahasia umum, kebijakan B30 bukanlah untuk mengurangi emisi, melainkan menciptakan pasar baru di dalam negeri setelah sawit Indonesia terancam ditolak masuk Eropa karena produksinya dianggap tidak ramah lingkungan. Biaya produksi biodiesel yang mahal membuat produsen CPO mendapat subsidi negara. Di sini timbul dua kerugian. Pertama, CPO untuk minyak goreng menipis. Kedua, pemerintah mengeluarkan subsidi yang tidak banyak manfaatnya.
Maka, ketimbang menyalahkan “mafia” untuk menutupi kelemahan, pemerintah mestinya berfokus membenahi kebijakan. Jika diagnosis dan penanganannya tidak sampai pada akarnya, atau solusinya tak menyeluruh, bukan tak mungkin krisis minyak goreng akan terus berulang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo