Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA, para pemilih itu, tidak mendatangi bilik suara dengan tangan hampa. Tapi dengan catatan khusus tentang para calon presiden. Berbeda dengan calon anggota legislatif pada pemilihan April lalu, para kandidat presiden bukanlah sosok yang muncul secara mengejutkan, tanpa masa lalu, atau tanpa rekam jejak yang jelas.
Semua orang mafhum: sampai reformasi digulirkan, sirkulasi elite penguasa di negeri ini tidak melibatkan begitu banyak orang. Pilihan kita terbatas pada tiga wajah lama dalam pemilihan presiden kali ini. Ada Megawati Soekarnoputri, yang pernah memerintah dalam periode pendek setelah kejatuhan Presiden Abdurrahman Wahid pada 2001. Ada Jusuf Kalla, yang—selaku wakil presiden 2004-2009—memainkan peran cukup menentukan, antara lain dalam penyelesaian konflik di Aceh dan Poso. Dan terakhir, ada Susilo Bambang Yudhoyono, orang nomor satu di negeri ini sepanjang 2004-2009, periode yang diawali aneka bencana alam di berbagai pelosok negeri.
Maka, pada 8 Juli lalu, 176 juta pemilih menunaikan haknya secara unik, pragmatis, dan berorientasi pada hasil semata. Mereka menghadapi lembar suara dengan gaya seorang guru yang menilai karya muridnya—melalui reward and punishment. Dan kita pun menyaksikan para pemilih menghukum kandidat yang dinilai gagal membawakan aspirasi mereka dengan tak memilih calon yang bersangkutan. Sebaliknya, mereka akan memilih kembali calon yang diyakini berhasil memperjuangkan aspirasi mereka.
Yudhoyono—menurut hitung cepat beberapa lembaga survei—akhirnya ”menang mutlak” dengan perolehan suara 60 persen. Kelas menengah menghendaki status quo stabilitas pemerintahannya, sedangkan masyarakat kelas bawah merasa tertolong oleh program seperti Bantuan Langsung Tunai. Periode yang diawali dengan banyak bencana alam itu diakhiri dengan penanganan inflasi, korupsi, pelayanan kesehatan, dan penyediaan pendidikan yang mengesankan.
Apa pelajaran dari kemenangan dan kekalahan ini? Yang terang, pendekatan para pemilih berdasarkan reward and punishment ini juga merupakan bagian dari mekanisme kontrol lima tahunan terhadap kinerja kandidat terpilih. Lihatlah, PDI Perjuangan, yang dalam pemilihan 1999 memperoleh kemenangan menakjubkan, kemudian harus menerima pelajaran pahit dari para pemilih. Simpati yang mengalir deras kepada partai yang diidentikkan sebagai korban Orde Baru itu akhirnya berkurang cukup banyak dalam pemilihan 2004. ”Hukuman” yang sama menimpa partai-partai Islam yang pada pemilihan 2009 mengalami penurunan suara cukup besar.
Para pemilih Indonesia memang semakin matang. Para pemilih yang sebelumnya mengutamakan pendekatan ideologis kini telah belajar bahwa identitas keagamaan yang mencorong tidak selalu berhubungan dengan cita-cita menciptakan masyarakat atau pemerintahan yang lebih islami (misalnya good governance). Namun, harus diakui, pendekatan para pemilih yang pragmatis ini belum tentu menghasilkan pemimpin yang terbaik.
Pemilih rasional tidak akan mendatangi bilik suara dengan tangan hampa. Mereka tak hanya berorientasi pada masa lalu atau rekam jejak para kandidat, tapi juga mampu menilai dan menerawang program-program yang ditawarkan para politikus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo