Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tak boleh membiarkan masyarakat kurang informasi tentang penularan flu babi. Apalagi setelah Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan wabah flu yang disebabkan virus H1N1 itu sebagai pandemi. Penetapan itu dilakukan setelah WHO menimbang cepatnya penyebaran wabah ke banyak negara dan melonjaknya jumlah penderita.
Sejak flu babi muncul di Meksiko pada April lalu, WHO mencatat 94.512 kasus di dunia, dengan 429 penderita meninggal. Indonesia pun tak luput dari serangan. Hingga pekan lalu, ditemukan 157 kasus flu babi—81 penderita laki-laki dan 76 perempuan. Rentang usia penderita antara 4 dan 49 tahun. Yang mencemaskan, sudah ada dua korban tewas, di Padang dan Denpasar.
Angka kematian akibat flu babi di seluruh dunia memang masih rendah, yakni 0,4 persen, tapi publik harus diberi tahu tentang profil wabah ini, upaya pencegahan, dan pengobatannya. Pemerintah mesti lebih sigap menyebarkan informasi tentang cara flu babi menyebar cepat—yakni melalui kontak langsung antarmanusia lewat batuk, bersin, atau benda yang pernah bersentuhan dengan penderita. Perlu juga dijelaskan bahwa kematian yang terjadi pada pasien positif influenza A H1N1 ini umumnya disebabkan oleh penyakit atau kondisi lain yang menyertai. Misalnya orang yang sedang dalam kondisi lemah, menderita sakit pernapasan, mengidap HIV/AIDS, lanjut usia, atau anak kurang gizi.
Penyampaian informasi yang lengkap, jelas, dan lekas sangat penting untuk mengurangi dampak yang lebih serius. Masyarakat saat ini cenderung mencari obat yang selama ini mereka kenal, tanpa tahu konsekuensinya. Dalam kasus flu babi ini, misalnya, sudah terlihat peningkatan permintaan vaksinasi flu. Padahal vaksinasi tak bisa diberikan secara asal-asalan. Vaksinasi sembarangan bisa membuat virus resisten dan semakin sulit dibasmi. Apalagi hingga sekarang vaksin khusus flu babi belum ditemukan.
Pemerintah memang sudah bereaksi. Impor babi, misalnya, dihentikan sementara mulai akhir Mei silam. Pemindai panas dipasang di sepuluh bandara, travel warning ke Meksiko dikeluarkan, serta ada pelatihan petugas hotel dan agen perjalanan wisata agar cepat mengenali wisatawan asing yang sakit. Peternakan babi diawasi ketat. Tamiflu yang direkomendasikan WHO pun sudah didistribusikan ke semua provinsi.
Hanya, sosialisasi tentang bahaya, pencegahan, dan penanganan wabah ini masih kurang. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari malah terang-terangan menolak menyebarluaskan informasi tentang wabah ini, yang katanya agar masyarakat tidak panik. Ini jelas keliru. Program komunikasi dan edukasi mengenai flu babi justru harus makin gencar demi menambah pengetahuan publik dan mencegah meluasnya penularan. Penanganan wabah SARS bisa jadi contoh. Waktu itu, sosialisasi tentang penanganan virus secara intensif disebarkan lewat berbagai media massa. Wabah pun cepat tertanggulangi.
Pemerintah mesti meningkatkan sosialisasi sesegera mungkin. Mengumumkan skenario pencegahan dan pengobatan secara terbuka dan jelas akan sangat berguna saat ini. Laksanakan prosedur pencegahan di lapangan serta pengobatan di puskesmas dan rumah sakit. Kantor kesehatan di pelabuhan dan bandar udara harus menyediakan pemantau panas tubuh. Kartu health alert wajib diisi. Rumah-rumah sakit rujukan mesti disiapkan, logistiknya dilengkapi.
Yang terpenting, masyarakat perlu terus diingatkan: pencegahan terbaik adalah membiasakan pola hidup bersih dan sehat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo