Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dilema Beras Impor

Tidak perlu terjadi konfrontasi yang berlanjut pada mosi tidak percaya kepada pemerintah seperti dalam demokrasi parlementer.

16 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebijakan mengimpor beras sebenarnya bukan pilihan bebas, tapi karena terpaksa. Itulah alasan pemerintah ketika memutuskan memasukkan beras dari Vietnam 110 ribu ton selama bulan ini. Keadaan yang memaksa ialah karena cadangan beras nasional turun, produksi dalam negeri tak cukup, sehingga harus ditambah dengan impor supaya aman. Namun banyak anggota DPR yang menentang, lalu merancang penggunaan hak bertanya dan hak angket untuk menyetop impor beras itu.

Pilihan kebijakan selalu bisa didukung atau ditentang secara politik. Perbedaan atau konflik dalam menentukan kebijakan—antara eksekutif dan wakil rakyat di legislatif—termasuk soal yang biasanya diselesaikan secara politik. Jika yang menolak lebih banyak, penyesuaian dan kompromi harus ditempuh. Tidak perlu terjadi konfrontasi yang berlanjut pada mosi tidak percaya kepada pemerintah seperti dalam demokrasi parlementer. Sistem presidensial tak membuka kemungkinan itu, walau DPR dilengkapi dengan hak bertanya dan hak angket.

Hak bertanya atau interpelasi sebetulnya tak punya makna khusus, karena kapan saja setiap anggota DPR selalu bisa minta penjelasan kepada pemerintah dalam sidang-sidang komisi. Sedangkan penggunaan hak angket—hak DPR melakukan investigasi sendiri—dalam soal impor beras terasa agak berlebihan. Angket tak diperlukan dalam hal pertentangan pandangan dan kepentingan politik, kecuali jika memang diduga keras terjadi penyelewengan yang tak mungkin diselesaikan pemerintah. Kalau itu masalahnya, harus tegas dipisahkan antara menyelidiki dugaan kecurangan dan soal menentang kebijakan impor beras sendiri.

Biar bagaimanapun, dengan memakai angket atau tidak, sebagian—cukup besar jumlahnya—fraksi di DPR menentang kebijakan impor beras pemerintah. Sekarang soal pengadaan beras sudah jadi buah simalakama: kalau dilakukan impor, petani akan dirugikan; jika tidak mengimpor, harga beras bisa naik dan cadangan nasional tak mencukupi. Petani padi dirugikan karena harga beras impor yang rendah akan ikut memukul penghasilan mereka. Turunnya pendapatan petani itulah yang dijadikan alasan oleh yang merasa keberatan di DPR.

Mengimpor beras berarti tidak mempedulikan petani, anti-impor berarti membela nasib kaum tani. Pemerintah berpendapat lain: harga beras yang murah akan meringankan petani juga. Sebab, pada umumnya petani adalah pembeli beras juga, karena produksinya tak cukup untuk konsumsi sendiri.

Perdebatan tidak selesai karena ada argumen lain dari yang anti-impor beras. Kalau harga pembelian padi makin rendah, petani bisa jera menanam padi dan berpindah ke hasil bumi lain atau pekerjaan lain. Akibatnya, produksi beras lebih merosot, sehingga swasembada pangan makin jauh jaraknya.

Penolakan kebijakan impor beras di DPR tidak bisa secara sepihak dipandang bermotif mencari popularitas saja. Setiap pilihan politik, termasuk kebijakan pemerintah sendiri, bisa dibuat demi dukungan populer juga. Yang terang, kebijakan mengimpor beras sekarang bukan terutama dan semata-mata dibuat karena memikirkan kesejahteraan petani. Alasan sebenarnya, yang cukup masuk akal, ialah untuk memenuhi stok beras nasional agar beras selalu tersedia cukup dengan harga yang stabil.

Pemerintah coûte que coûte—dengan segala cara—akan berupaya menjalankan kebijakan ini, karena kekurangan beras bisa menimbulkan gejolak sosial-politik, dan melonjaknya harga beras amat mempengaruhi indeks harga konsumen. Seorang pejabat negara berterus terang bahwa pemerintah Indonesia tak akan goyah selama beras cukup dan harganya terjangkau. Sedangkan alasan yang lebih mempersulit penerimaan keharusan impor beras ialah kurangnya kredibilitas pengimpor, yaitu Bulog. Perusahaan negara ini dianggap penuh vested interest dan reputasinya dalam soal manipulasi dan korupsi sejak dulu berada di peringkat atas.

Selain mengakui masih adanya masalah dengan Bulog, ada baiknya pemerintah bersikap terbuka sekitar masalah beras ini: bahwa produksi beras belum mencukupi, gagal mencapai tingkat swasembada; bahwa pemerintah memang berkepentingan agar ketersediaan beras dan harganya tidak menjadi potensi gangguan stabilitas sosial-politik. Pemerintah juga berkepentingan menjaga agar fluktuasi harga beras tak mempengaruhi tingkat inflasi, dan agar cadangan nasional beras tak kurang dari 1 juta ton selalu.

Mungkin dengan keterbukaan ini gelombang penolakan impor beras bisa disurutkan sedikit. Sebenarnya, solusinya bukan cuma memilih meneruskan impor atau membatalkannya, melainkan dalam jangka lebih panjang, yaitu membuat program yang memudahkan dan merangsang pertanian untuk meningkatkan kapasitas produksi beras nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus