Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Hakim Herman dan Wajah Peradilan Kita

Hakim Herman Allositandi ditangkap karena diduga akan memeras seorang saksi. Pemerintah diharapkan segera mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan Saksi.

16 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DITANGKAPNYA hakim Herman Allositandi, mantan ketua majelis hakim kasus dugaan korupsi PT Jamsostek oleh Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak saja menambah bukti bagi keyakinan masyarakat bahwa praktek mafia peradilan itu memang nyata adanya. Tapi hal itu juga sekaligus memperjelas wajah peradilan kita yang bobrok dan mencemaskan. Anggapan seperti itu terasa menyakitkan tapi sulit dibantah.

Di tengah sorotan masyarakat terhadap dunia peradilan yang centang-perenang, di antara gencarnya Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar kasus-kasus suap di Mahkamah Agung, serta keinginan Mahkamah Yudisial menyeleksi ulang para hakim agung, kasus pemerasan oleh hakim ini benar-benar memperlihatkan besarnya nyali ”penegak” hukum itu untuk melawan rasa malu dan bersalah, dengan menyalahgunakan jabatannya.

Sumber dari semua itu adalah korupsi. Kejahatan ini sudah menjadi semacam penyakit kanker, yang sel-selnya telah merambat dan merusak tubuh birokrasi kita, termasuk peradilan. Usaha membersihkan sistem peradilan dari penyakit itu bukan pekerjaan gampang. Tapi, sesulit apa pun, pekerjaan itu harus dimulai, kalau pemerintah negeri ini ingin mendapat kepercayaan rakyatnya dan juga dunia luar.

Untuk itu, kita menghargai keputusan cepat Ketua Mahkamah Agung yang langsung mengizinkan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menangkap dan menahan Herman. Kita juga menghargai keputusan cepat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang langsung memberhentikan—walau untuk sementara—Andry Djemmy Lumanauw, panitera Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang turut berperan dalam pelanggaran hukum. Tapi, lebih dari itu, kita mengharap dua lembaga ini mengusut dan menangkap siapa saja yang terlibat dalam kasus ini.

Kita mafhum, negara memang belum bisa membayar para hakim dengan imbalan yang memadai (sesuatu yang juga dialami oleh profesi lain seperti polisi dan jaksa). Tetapi bukan berarti para penegak hukum itu boleh mencari tambahan penghasilan dengan cara melanggar hukum. Misalnya memeras terdakwa, saksi, atau siapa pun yang seharusnya mendapat perlindungan hukum.

Perbuatan Herman jelas bisa dijerat dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 undang-undang ini, misalnya, menyebut seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, dan hadiah atau janji itu dimaksudkan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, bisa dihukum hingga 20 tahun penjara. Tapi Herman sebagai hakim, yang seharusnya memahami hukum dan menegakkan keadilan, tak hanya patut dihukum. Lebih dari itu, ia layak dipecat sebagai hakim.

Terungkapnya kasus Herman ini berkat laporan masyarakat. Masyarakat memang harus dilibatkan dalam pemberantasan mafia peradilan. Jika masyarakat takut melaporkan kejahatan yang terjadi di lingkungan lembaga peradilan—baik pengadilan negeri, pengadilan tinggi, maupun Mahkamah Agung—cita-cita untuk memberantas mafia peradilan hanya akan sebatas angan-angan.

Untuk memberantas korupsi, kita perlu memiliki undang-undang yang menjamin bahwa siapa pun yang melaporkan adanya kejahatan itu, ia aman, atau jika perlu mendapat imbalan. Korupsi di negeri ini sudah berurat-akar dan menyusup ke berbagai sendi kehidupan. Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Dalam kaitan inilah, penting bagi DPR dan pemerintah untuk segera mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan Saksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus