Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH tua itu bercat putih kusam, terletak di tepi jalan berhadapan dengan lapangan Blang Padang, alun-alun di jantung Kota Banda Aceh. Rumah dari papan bergaya kolonial itu tak megah. Pada papan nama di dinding depan cukup jelas terbaca: ”Tamlicha Ali Center”.
Inilah kantor mesin kampanye politik bagi Tamlicha Ali, pensiunan jenderal TNI berbintang tiga yang akan maju sebagai kandidat Gubernur Aceh. ”Lembaga ini mendukung Pak Tamlicha Ali dengan berbagai kegiatan sosial,” ujar Tubagus Nadjiyullah, aktivis dari lembaga yang belum genap setahun itu.
Tamlicha adalah salah satu nama di bursa calon Gubernur Aceh. Meski tahap resmi pemilihan gubernur belum dimulai, rupanya banyak calon sudah pasang kuda-kuda. ”Kami mencoba meraup suara di Aceh bagian barat dan selatan,” ujar Tubagus. Dalam berbagai kegiatan, lembaga itu rajin terjun ke pelosok Aceh mengenalkan jagoan mereka.
Pemilihan langsung di Aceh memang tak lama lagi. Sesuai dengan perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah Indonesia yang diteken di Helsinki, Agustus silam, pemilihan kepala daerah akan berlangsung setelah draf Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh kelar dibahas Dewan Perwakilan Rakyat RI. Dalam jadwal, rancangan hukum itu akan rampung akhir Maret ini.
Sambil menunggu undang-undang beres, Komite Independen Pemilu (KIP) Aceh mulai bekerja. Pekan lalu, lembaga yang akan bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Aceh itu menyorongkan rencana belanja ke DPRD setempat. ”Kami butuh duit Rp 64 miliar,” ujar M. Jafar, Ketua KIP Aceh. Angka itu, kata dia, sudah termasuk ongkos pemilu kalau terjadi sampai dua putaran. Biaya terbesar, kata Jafar, adalah logistik pemilu dan honor pekerja.
Meski begitu, kantor komite itu, yang terletak di lantai dua gedung Arsip Daerah di Jalan T. Nyak Arief, Banda Aceh, masih senyap. Meja dan kursi masih kosong. Pegawai tampak satu-dua yang duduk sekenanya di meja yang melompong itu. ”Aktivitas belum begitu padat,” kata M. Jafar. Sepinya kegiatan memang berkait dengan tarik-ulur jadwal pilkada.
Belum pastinya jadwal pilkada Aceh juga dinyatakan oleh Azhari Bashar, Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh di DPRD Aceh. ”Kemungkinan sekitar Juli atau Agustus,” ujarnya, Kamis pekan lalu. Menurut Azhari, waktu memang sangat sempit. Setelah draf undang-undang selesai, masih harus dirancang qanun baru tentang pelaksanaan di daerah. Untuk urusan ini, setidaknya butuh waktu satu bulan.
M. Jafar mengakui, KIP Aceh memang sedang menyusun kerangka aturan main pilkada Aceh. Mereka merabanya dari draf Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Masih kata Jafar, tahapan dan syarat pilkada tak terlalu beda dengan yang diatur Undang-Undang Otonomi Khusus. Yang beda adalah pendaftaran calon. Misalnya, dalam soal usia kandidat, Otonomi Khusus mematok batas 35 tahun, sementara draf Undang-Undang Pemerintahan Aceh memberi syarat usia minimum 30 tahun.
Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh juga memberi peluang besar kepada calon independen. Peraturan dalam Qanun No. 3 Tahun 2005 menyebutkan, calon harus didukung tiga persen dari jumlah penduduk. Tapi, dalam draf Undang-Undang Pemerintahan Aceh, angka itu diperkecil jadi satu persen. Rencananya, pilkada di Aceh akan berlangsung serentak, baik paket gubernur dan wakilnya maupun bupati dan wali kota.
Tentu, mulai awal tahun ini, politik di Aceh sudah mulai bergairah. Selain Tamlicha Ali, yang maju didukung Partai Bintang Reformasi, sejumlah nama lain sudah mulai masuk bursa. Misalnya bekas Wakil Gubernur Aceh Azwar Abubakar dari Partai Amanat Nasional (PAN). Azwar memastikan akan berlaga sebagai kandidat gubernur dalam pilkada nanti.
Hampir setiap hari ada kesibukan politik di rumah Ketua PAN Aceh itu. Setelah jabatan gubernur diserah-terimakan awal Januari lalu kepada Mustafa Abu Bakar, Azwar mulai menyusun strategi. Dia rajin melakukan temu kader dan berkunjung ke sejumlah kabupaten. Pada Pemilu 2004, PAN menyabet 13,5 persen suara di Aceh.
Kini, kata Azwar, dalam pilkada mereka mengubah taktik dalam membangun hubungan dengan berbagai kalangan. Bahkan, tak tertutup kemungkinan menggandeng para tokoh GAM untuk pilkada. ”Semua akan kita bicarakan di partai nanti,” ujarnya. Program yang ditawarkan juga masih dalam konteks perdamaian dan kemakmuran Aceh.
Partai Golkar juga tampak bernafsu untuk menang. Mereka sudah menetapkan pasangan kandidat Malek Raden dan Sayed Fuad Zakaria untuk gubernur dan wakilnya. Malek dikenal sebagai tokoh pendidikan di Aceh dan ia kini menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah. Sedangkan Sayed Fuad Zakaria adalah Ketua Partai Golkar Aceh.
Golkar mendorong Malek, terutama kedekatannya dengan jaringan para guru di Aceh. Selain gubernur, Golkar akan merapatkan struktur mereka untuk menjaring para calon bupati dan wali kota. Saat ini partai beringin itu sudah menetapkan calonnya untuk wilayah Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, Sabang, Aceh Barat, dan Aceh Tengah. ”Kita masih terus menjaring di wilayah lainnya,” ujar Sayed.
Dengan modal 15,7 persen suara pada pemilu lalu, Golkar percaya diri. Mereka mengandalkan tokoh lokal dan hasil survei lembaga independen. Tentang berkoalisi dengan calon dari GAM, kata Sayed, kemungkinan juga tidak tertutup. Mengutip Ketua Umum Golkar Jusuf Kalla, Golkar membuka diri atas aspirasi masyarakat dan partai kecil. ”Golkar tetap memberi kesempatan kepada semua,” ujar Sayed.
Dari kubu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), muncul nama Dr Humam Hamid, akademisi dari Universitas Syiah Kuala. Tokoh dari lembaga Aceh Recovery Forum (ARF) itu bukanlah orang PPP. ”Tentang peluang, saya belum tahu,” ujar Humam merendah. Tapi PPP di Aceh bukanlah partai kemarin sore. Dengan 14,5 persen suara hasil pemilu legislatif lalu, partai itu punya potensi besar meraup massa pedesaan Aceh.
Humam juga belum tahu siap wakilnya. Namanya pernah disebut-sebut akan bersanding dengan Nasir Djamil, politisi muda dan anggota parlemen dari Partai Keadilan Sejahtera. Menurut Nasir, partainya masih mempertimbangkan Humam. ”Tapi, saya masih belum tahu keputusan finalnya,” ujar Nasir, Kamis pekan lalu.
Meski PKS hanya meraup 8,3 persen suara pada pemilu, partai itu punya basis kuat di sejumlah kota di Aceh. Koalisi kedua kandidat ini diduga bakal menjadi kuda hitam karena membuka spektrum dukungan lebar di perkotaan dan pedesaan. ”Kalau GAM tidak maju, Humam pasti menang,” ujar Irwandi Jusuf, wakil senior GAM di Aceh Monitoring Mission, beberapa waktu lalu.
Lalu, bagaimana dengan GAM? Hampir semua kekuatan politik di Aceh melirik bekas gerakan perlawanan bersenjata itu. Bursa calon GAM pun kian semarak. Yang sudah muncul dari kubu mereka adalah pasangan Hasbi Abdullah dan Teuku Kamaruzzaman. ”Ini baru pasangan sementara,” ujar Kamaruzzaman. Menurut dia, hasil final siapa yang akan maju sebagai kandidat gubernur akan diumumkan nanti oleh pimpinan GAM.
GAM, kata Kamaruzzaman, akan menjajal kekuatan sendiri dalam bersabung suara di pilkada. Meski belum punya pengalaman politik elektoral, mereka belum berpikir berkoalisi di tingkat posisi gubernur. Peluang bergandeng dengan partai lain terbuka, tapi hanya untuk pemilihan bupati atau wali kota. ”Itu keinginan masyarakat, yang minta kami maju dengan kekuatan sendiri,” ujarnya.
Nezar Patria, Adi Warsidi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo