Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Media sosial yang paling digemari sampai ke pelosok desa adalah TikTok. Dari anak-anak usia 3 tahun sampai kakek-kakek pensiunan. Si bocah hanya perlu dibukakan aplikasinya. Dia sudah bisa menggeser-geser layar untuk mengganti konten sesukanya. Dan orang tuanya tak diganggu lagi saat asyik dengan WhatsApp.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiktokan, itu bahasa populer di kalangan orang desa. Para remaja bisa ketagihan membuat konten. Mereka cukup bergoyang mengikuti irama lagu. Pas atau tidak, langsung diunggah. Para caleg—calon anggota legislatif—yang kurang modal membuat baliho juga lari ke TikTok. Hiburan ini bukan untuk orang-orang receh kelas perdesaan saja. Konten politik, baik yang memuji pemerintah maupun yang mencelanya, berseri-seri ditayangkan di TikTok. Tentu setelah memotong konten asli yang disiarkan di media sosial lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita jadi bangsa yang terbius oleh aplikasi buatan Cina ini. Kita asyik mengorbankan waktu, padahal ada imbauan kerja, kerja, kerja dari kepala negara kita. Ketika TikTok melahirkan apa yang disebut TikTok Shop, sambutan hangat pun datang dari para pebisnis. Jutaan orang berdagang lewat aplikasi ini dan puluhan juta lainnya berbelanja. Sampai saatnya, pekan lalu, pemerintah mengeluarkan larangan. TikTok Shop tak boleh lagi digunakan untuk berdagang.
Kenapa pemerintah panik? Pasar Tanah Abang, Jakarta, pusat grosir terbesar di Asia Tenggara, baru diketahui sepi pengunjung. Kios-kios pada tutup. Pedagang tak mampu lagi membayar sewa kios karena pembeli tak datang. Apakah daya beli masyarakat turun? Bukan, melainkan karena pembeli beralih belanja secara online. Sebelum ada TikTok Shop pun belanja online ini sudah populer. Ada banyak aplikasi untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Belanja online bukanlah aksi-aksian, melainkan memudahkan orang. Harga barang bisa lebih murah meski sudah termasuk ongkos kirim. Kita bisa memilih barang lewat hape, pindah dari satu toko ke toko lainnya, tanpa perlu beranjak dari rumah. Penjual bisa menekan harga murah karena tak perlu menyewa toko, membayar gaji karyawan, juga bisa berkelit dari pajak. Soal ini tak perlu diperjelas. Yang perlu dijelaskan, kenapa TikTok Shop harus dilarang, sementara begitu banyak aplikasi belanja online yang ada? Apakah dengan pelarangan TikTok Shop ini Pasar Tanah Abang kembali bergeliat?
Pemerintah melarang orang berjualan di TikTok, tapi boleh berpromosi barang di aplikasi populer itu. Apa susahnya buat pedagang yang sudah terbiasa berbisnis secara online? Bukankah tinggal membagikan link, apakah itu merujuk ke situs web pedagang atau cuma merujuk ke WhatsApp penjual? Lagi pula, apa yang harus dikhawatirkan dari pedagang online kalau mereka bisa buka lapak di e-commerce yang resmi, seperti Tokopedia, Shopee, dan Lazada?
Memang, lapak-lapak ini sudah berizin sehingga pemerintah bisa memungut pajaknya. Para pedagang lemah yang ingin menjual barang lebih murah dan supaya cepat laku bukankah bisa lewat media sosial lainnya jika berat terkena pajak? Misalnya, lewat Facebook, Instagram, ataupun Twitter (kini X). Kenapa harus TikTok Shop yang jadi sasaran? TikTok “tanpa shop” malah dibiarkan membius masyarakat untuk bermalas-malasan.
Akan menjadi luar biasa kalau pemerintah justru bertindak lebih radikal. Misalnya, memblokir TikTok seluruhnya, termasuk yang tak berhubungan dengan bisnis. Sudah ada 16 negara yang memblokir aplikasi dari Cina ini. Alasan utamanya soal keamanan, spionase, juga soal “kesehatan mental remaja”. Negara yang melarang TikTok itu justru negara-negara besar, seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Belanda, dan Uni Eropa.
Atas nama “informasi sulit dibendung” dan bukan alasan “itu kan dari Cina, mitra bisnis kita”, tampaknya pemerintah tak akan memblokir TikTok. Namun harus ada cara bagaimana mencegah dampak buruk dari semua media sosial ini. Tentu cara yang adil untuk semua media sosial sehingga para remaja bisa saja tiktokan, tapi ada batasannya, dan syukur dalam balutan budaya Nusantara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo