Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Diplomasi Sawit Indonesia

Lobi intensif yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk sementara berhasil menunda penghapusan penggunaan biodiesel berbasis minyak sawit di Uni Eropa.

11 Juli 2018 | 07.11 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Meski melarang penggunaan minyak sawit, tak bisa dimungkiri Uni Eropa adalah salah satu konsumen utama produk perkebunan Indonesia tersebut. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa ekspor minyak sawit mentah ke negara-negara Eropa tahun 2017 sebanyak 5,1 juta ton atau senilai Rp 48 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wiko Saputra
Peneliti Auriga Nusantara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lobi intensif yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk sementara berhasil menunda penghapusan penggunaan biodiesel berbasis minyak sawit di Uni Eropa. Mereka sepakat menundanya sebagai salah satu jenis energi terbarukan untuk transportasi sampai 2030. Kesepakatan itu dituangkan dalam Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun pemerintah jangan lantas merasa puas dan jemawa atas hasil ini. Masih banyak tantangan perdagangan global yang membuka peluang terjadinya hambatan yang sama terhadap minyak sawit dari Indonesia. Hambatan itu bisa berupa blokade dagang atau peningkatan tarif bea masuk. Misalnya, Amerika Serikat telah memutuskan pengenaan tarif bea masuk antidumping sebesar 50,7 persen terhadap biodiesel dari Indonesia.

Serangan terhadap minyak sawit gencar terjadi karena merebaknya isu penggundulan hutan, peningkatan emisi gas rumah kaca, pelanggaran hak asasi manusia, dan praktik dumping dalam tata kelolanya. Isu ini dimainkan oleh negara pesaing untuk menekan industri minyak sawit Indonesia di pasar global. Pemerintah kelihatan kewalahan menghadapi serangan itu karena praktik di lapangan juga menunjukkan masalah tersebut.

Tidak bisa dinafikan, pembukaan perkebunan sawit telah merusak kawasan hutan dan mengancam keseimbangan ekosistem. Kajian Auriga pada 2018 menemukan sekitar 6,9 juta hektare kawasan hutan sudah dilepaskan untuk perkebunan sawit dan 3,4 juta hektare menerabas kawasan hutan secara ilegal.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2017 mencatat angka deforestasi di Indonesia seluas 479 ribu hektare. Angka ini setara dengan 435 ribu kali luas lapangan sepak bola atau tiap hari kita kehilangan hutan sebanyak 1.120 kali luas lapangan sepak bola. Pemicunya adalah pembukaan kebun sawit.

Tata kelola industri biodiesel juga banyak polemik. Tujuannya sebagai sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan tak tercapai. Musababnya adalah bahan bakunya masih berasal dari kebun sawit di kawasan hutan dan gambut yang dibuka dengan cara membakar.

Pengembangan biodiesel juga menggunakan dana subsidi yang mencapai Rp 10 triliun setiap tahun yang bersumber dari dana perkebunan sawit. Menurut kajian Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2016, dana tersebut bukan untuk subsidi energi karena tidak ada dasar hukumnya.

Keberhasilan diplomasi Indonesia di Uni Eropa terjadi bukan karena kita mampu meyakinkan mereka mengenai berbagai tuduhan, tapi dampak lobi pemerintah lewat Vatikan. Vatikanlah yang memfasilitasi pertemuan Indonesia dengan Uni Eropa. Isunya pun memakai pendekatan agama, radikalisme, dan kemiskinan. Tentu cara diplomasi semacam ini tidak selamanya dapat digunakan.

Kita tidak boleh membiarkan negara lain menyerang komoditas minyak sawit Indonesia. Namun kita juga perlu memperbaiki tata kelolanya. Kunci masalahnya adalah tata kelola lahan.

Keberadaan kebun sawit sebagai pemicu deforestasi dan penyebab kebakaran hutan dan lahan harus dihentikan. Caranya adalah melakukan moratorium sawit. Moratorium bukan sekadar menghentikan izin pembukaan lahan baru, tapi juga instrumen untuk mengevaluasi semua izin yang sudah terbit.

Bagi izin kebun sawit yang terindikasi melakukan pelanggaran, penegakan hukum jadi penyelesaiannya. Kebun rakyat perlu dikecualikan karena harus ada resolusi agraria untuk menyelesaikannya.

Setelah persoalan legalitas lahan selesai, pemerintah perlu membangun sistem keberlanjutan tata kelola kebun sawit dan industri turunannya. Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO) jadi instrumen sertifikasinya. Untuk itu, penguatan ISPO menjadi hal terpenting, terutama dalam memperkuat kredibilitas, integritas, dan keberterimaan pasar.

Cara memperbaiki dari dalam inilah yang paling efektif sebagai alat diplomasi sawit. Sayang, pemerintah lebih asyik melawan dengan senjata tumpul, lantas jualan isu agama, radikalisme, dan kemiskinan. Padahal isu itu "jauh panggang dari pada api" untuk menyelesaikan masalah buruknya tata kelola sawit di sini.

Wiko Saputra

Wiko Saputra

Peneliti Kuala Institute

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus