Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reza Syawawi
Peneliti Hukum Transparency International Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Idealnya, kata J.J. Rousseau, hukum merefleksikan kehendak umum di masyarakat. Jika terjadi pengabaian, hukum bisa dinilai tidak absah secara politik dan kehilangan legitimasinya. Dampaknya bisa mengarah pada pengabaian hukum. Di titik inilah kepastian hukum akan hilang dan keadilan tak akan pernah mungkin dicapai (Manullang, 2017).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika menggunakan pendekatan ini, akan ada banyak hukum atau undang-undang di Indonesia yang kehilangan legitimasinya. Sebab, dalam banyak penyusunan produk hukum, pembentuk undang-undang tidak pernah tuntas mengakomodasi dan merefleksikan apa yang disebut sebagai "kehendak umum".
Hal yang banyak terjadi adalah pengabaian dan pengingkaran partisipasi, bahkan menempatkan partisipasi sebagai bentuk perlawanan atas kekuasaan. Ini mungkin yang disebut Charles E. Merriam (1934) sebagai kemiskinan politik (poverty of power). Fenomena represi muncul karena pemerintah miskin sumber daya politik. Ketika kekuasaan berada dalam situasi yang sulit (dominasi kepentingan elite), mereka beralih menggunakan cara-cara represif. Hal ini bahkan terjadi di rezim yang sudah matang dan stabil (Nonet & Selznick, 1978).
Kehendak umum sejatinya tidak hanya soal partisipasi formal, tapi juga substansial. Jika mengambil contoh perubahan Undang-Undang KPK, kita akan mendapati betapa proses formal dalam perumusan undang-undang dilanggar. Undang-undang yang tidak masuk rencana legislasi tiba-tiba menjadi prioritas. Partisipasi publik diberangus. Substansi regulasi dianggap sebagai otoritas penuh dari pembentuk (penguasa) undang-undang.
Hasilnya bisa dilihat dalam salah satu poin revisi Undang-Undang KPK yang memberi kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada KPK dengan berlindung di balik alasan untuk memberikan kepastian hukum bagi tersangka korupsi. Padahal SP3 yang tak terkontrol justru menjadi momok bagi institusi kepolisian dan kejaksaan dalam menangani kasus pidana, termasuk korupsi. Lalu di mana letak kepastian hukum yang hendak dituju?
Kepastian sebagai ide antropologis sebetulnya tidak lahir dari sebuah konsep hukum. Namun, dalam praktiknya, perumusan hukum diasumsikan seolah-olah telah memberikan kepastian hukum, padahal tidak. Kepastian yang dituju malah menimbulkan ketidakpastian baru di dalam hukum. Dalam banyak hal, kepastian hukum disederhanakan sebagai tujuan, padahal ia merupakan proses yang tak pernah berhenti (Avila, 2016).
Dengan dasar asumsi ini, hukum dengan segala otoritasnya menyederhanakan problem-problem sosial ke dalam norma-norma. Atas nama kepastian hukum, semua hal diatur dan membuat standar nilai baru yang sebetulnya tidak koheren dengan kepentingan publik dan kehendak umum.
Formalitas pembentukan hukum menjadi tameng bagi pembentuk undang-undang. Prosedur konstitusional menjadi alasan pembenar untuk mengesahkan suatu aturan walaupun itu mengabaikan tuntutan publik. Lalu apakah konstitusi sebagai hukum dasar memang tidak memberikan kepastian bagi setiap warga negara untuk terlibat dalam penyusunan aturan yang akan juga diberlakukan terhadap dirinya?
Di titik ini saya melihat sistem pembentukan hukum memang bermasalah sejak dilahirkan. Bukan hanya soal kuantitas dan disharmoni antar-peraturan, tapi memang tidak didasari satu konteks apakah norma ini muncul dari sebuah kajian yang mendalam dan apakah hukum hadir sebagai sarana untuk menyelesaikan problem sosial.
Di satu sisi, mungkin kita ingin keluar dari belenggu regulasi yang bermasalah, atau katakanlah semangat nasionalisme untuk memberikan corak hukum tersendiri yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. Tapi, di sisi lain, semangat ini agaknya harus disertai dengan tingkat afirmasi publik terhadap aturan yang akan dilahirkan.
Selama lebih dari dua dekade pasca-reformasi, politik hukum pembentukan peraturan perundang-undangan memang sedang mengalami fase kritis. Situasinya memang sangat berbeda dengan masa transisi pada awal reformasi, saat ada banyak undang-undang yang bisa disebut responsif dan dimunculkan sebagai antitesis atas rezim totaliter. Misalnya, regulasi di bidang hak asasi manusia, hak-hak politik, termasuk reformasi struktur kelembagaan negara yang melahirkan banyak lembaga independen untuk mengawasi aktivitas semua cabang kekuasaan negara. Tujuannya tentu saja adalah melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan. Pada masa itu, kekuatan sipil juga menguat. Masyarakat terlibat dan ikut mengontrol jalannya pemerintahan.
Jika merefleksikan apa yang terjadi dewasa ini, mungkin tidak berlebihan jika menyebutnya sebagai fase kritis. Konsolidasi elite justru semakin menguat, transisi politik melahirkan klientelisme dalam politik, dan relasi politik hanya dimaknai dalam konteks menyediakan dukungan elektoral dengan imbalan tertentu (Aspinall & Berenschot, 2019).
Bagi para politikus, atau pebisnis-politikus, ketika hukum sudah bisa dikendalikan, di situlah ruang untuk semakin memperkuat dan melanggengkan kekuasaan yang dibangun atas relasi politik yang pragmatis. Hasilnya, kekuatan oligarkis akan semakin menguat dengan berlindung di balik jargon demokrasi sembari menebar dongeng tentang pentingnya kepastian hukum.