Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan kenaikan iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tentu akan berdampak pada program Jaminan Kesehatan Nasional. Putusan MA ini menghadapkan pemerintah pada dua pilihan yang sama-sama sulit agar BPJS bisa terus berjalan untuk memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pilihan pertama, pemerintah menambah anggaran untuk mengkompensasi batalnya kenaikan iuran tersebut. Pemerintah bisa mengambil pos anggaran lain untuk dialokasikan guna menambal defisit yang terus dialami BPJS. Ini kalau memang hendak berfokus pada layanan kesehatan. Pilihan populis ini tentu sulit di tengah negara yang kini sedang punya problem keuangan dan anggaran yang berat. Ditambah kondisi ekonomi nasional dan dunia saat ini sedang lesu sejak awal 2020. Bank Indonesia saja sudah merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan kondisi tersebut, pemerintah tidak memiliki kecukupan dana untuk mengongkosi seluruh layanan kesehatan masyarakat. Apalagi BPJS Kesehatan sejak berdiri terus mengalami defisit. Tanpa kenaikan iuran, defisit BPJS pada 2020 diperkirakan mencapai Rp 39,5 triliun. Lalu pada 2021 angkanya diperkirakan menyentuh Rp 50,1 triliun dan pada 2022 sebesar Rp 58,6 triliun.
Pilihan kedua, pemerintah harus realistis dengan mengurangi cakupannya. Misalnya, untuk penyakit tertentu yang awalnya ditanggung penuh BPJS, dikurangi bantuannya, karena memang tidak cukup dananya. Perlu diketahui bahwa BPJS Kesehatan merupakan program patungan publik dan negara. Kalau negara tidak punya cukup uang, pilihan yang ada ialah mengurangi cakupan layanan kesehatannya.
Kedua pilihan itu sama-sama sulit. Tapi sebetulnya ini berawal dari kekeliruan konsep jaminan kesehatan nasional. Sejak jaminan kesehatan nasional ini diluncurkan pada 2014, pemerintah menjelaskan kepada masyarakat bahwa skema jaminan kesehatan ini seolah-olah merupakan fasilitas dari negara. Timbul kesan bahwa BPJS Kesehatan harus menanggung seluruh biaya pengobatan dan perawatan semua warga Indonesia, tanpa kecuali.
Padahal, dalam pelaksanaannya, sistem jaminan kesehatan nasional ini pada dasarnya adalah skema asuransi. Selain berhak mendapatkan jaminan pembiayaan, warga punya kewajiban membayar premi yang masuk akal sesuai dengan kaidah asuransi. Jika premi tidak memadai, sampai kapan pun, penerimaan iuran dari peserta BPJS tak akan pernah cukup untuk menutup seluruh biaya pembayaran dokter, obat, dan pelayanan rumah sakit bagi peserta.
Namun, betapa pun sulitnya, pemerintah harus memilih solusi untuk menyelamatkan BPJS setelah kenaikan iurannya dibatalkan MA. Apakah hendak memilih solusi populis atau realistis? Kalau mengambil pilihan populis, pemerintah pasti akan mendapat dukungan dari masyarakat. Tapi keuangan negara jelas akan jebol karena terus-menerus menambal defisit BPJS.
Sementara itu, kalau pemerintah mengambil solusi realistis, BPJS mungkin tidak akan kolaps dan beban anggaran negara menjadi lebih ringan. Tapi di mata masyarakat, pemerintahan Jokowi tidak akan populer dan akan muncul perlawanan. Jokowi seharusnya berani mengambil risiko pada periode kedua pemerintahnya dengan memilih solusi realistis, tentu diawali dengan mengaudit BPJS.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo