Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAMER dukungan pensiunan jenderal tentara oleh tiga kandidat presiden 2024 menunjukkan politik kita belum lepas dari watak militerisme. Semua calon presiden meyakini para jenderal tentara dan polisi yang pernah menduduki jabatan penting saat masih aktif bisa mendongkrak perolehan suara melalui jaringan mereka hingga ke daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kubu Ganjar Pranowo, Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Arsjad Rasjid yang memimpin tim pemenangan diapit mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia, Jenderal Andika Perkasa, dan mantan Wakil Kepala Kepolisian RI, Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono. Sementara itu, Anies Baswedan mendapat dukungan Forum Purnawirawan Perwira Tinggi TNI-Polri, terutama para purnawirawan yang terpental dari kabinet Presiden Joko Widodo.
Presiden Jokowi makin terlihat mendukung calon presiden Partai Gerindra, Prabowo Subianto, seiring konflik dalam selimutnya dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Dibanding dua kandidat lain, Prabowo paling banyak mendapat dukungan purnawirawan tentara, terutama mereka yang dulu memeriksanya dalam perkara penculikan aktivis mahasiswa 1998.
Bagi Prabowo, dukungan para purnawirawan itu tak semata mendulang koneksi tentara dan keluarganya, tapi juga menjadi ajang cuci dosa pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu. Empat kali mengikuti pemilihan, Prabowo tersandung kasus penculikan aktivis prodemokrasi oleh Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat, institusi yang pernah dipimpinnya. Menampilkan para pemeriksa yang merekomendasikan memecatnya dari TNI dalam perkara itu sebagai pendukung, Prabowo dikesankan tak lagi punya masalah dengan kejahatan tersebut.
Pengerahan purnawirawan tentara dan polisi itu mengulang apa yang terjadi pada Pemilihan Umum 2014. Waktu itu pasangan calon presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sama-sama pamer dukungan purnawirawan. Tujuannya mengerahkan para bintara pembina desa (babinsa), ujung tombak TNI di daerah, dalam mengarahkan pilihan pemilik suara. Mobilisasi babinsa terbukti oleh temuan TNI Angkatan Darat di Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Para babinsa di provinsi-provinsi itu mendatangi rumah penduduk untuk mengarahkan dukungan kepada Prabowo. Namun hasil Pemilu 2014 menunjukkan Jokowi-Kalla mendapat suara lebih banyak. Di Jakarta, misalnya, suara untuk Jokowi 53,08 persen, sementara Prabowo 48,92 persen.
Kerja babinsa tentu bukan satu-satunya penentu banyak-sedikitnya perolehan suara kandidat. Namun, setidaknya, bisa dikatakan pengerahan jaringan tentara ataupun polisi tak efektif mendongkrak perolehan suara. Dalam pemilihan langsung, seperti tecermin dalam banyak survei elektabilitas, preferensi pemilih cenderung pada ketokohan calon presiden dibanding partai pendukung ataupun tim pemenangannya. Maka mobilisasi jaringan tentara dan polisi dalam pemilu hanya mencederai netralitas alat-alat negara ini dalam politik dan membuat demokrasi jadi buruk.
Dua periode pemerintahan Joko Widodo membuktikan dukungan tentara dan polisi dalam pemilu berujung pada pengerahan petinggi dua lembaga ini dalam jabatan-jabatan sipil. Akibatnya, harapan Reformasi 1998 yang menginginkan politik bersih dari watak militerisme makin jauh dari kenyataan.
Baca liputannya:
- Peran Pensiunan Jenderal Pendukung Prabowo Subianto
- Manuver Purnawirawan TNI di Belakang Ganjar Pranowo
- Genjolak Pensiunan Tentara di Koalisi Anies Baswedan
- Mengapa Partai Demokrat Akhirnya Bergabung dengan Koalisi Prabowo
Pemberian kekuasaan terhadap militer sebagai balas jasa dukungan dalam pemilu membuat supremasi sipil terganggu dan Indonesia menjadi seperti Amerika Serikat setelah Perang Saudara (1861-1865). Seperti direkam ahli politik Columbia University, C. Wright Mills, dalam The Power Elite (1956), para veteran menguasai arena sipil dan membuat kebijakan publik yang menguntungkan militer. Kekuatan elite militer baru melemah setelah lebih banyak tokoh sipil masuk lembaga-lembaga perwakilan.
Para kandidat presiden 2024 hendaknya menghentikan mobilisasi dukungan para pensiunan jenderal. Mereka mesti berfokus pada program peningkatan kesejahteraan masyarakat, perlindungan hak asasi manusia, pemeliharaan kebebasan berpendapat, hingga proteksi lingkungan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Gula-gula Pensiunan Jenderal". Koreksi 25 September 2023 pada nama universitas dan C. Wright Mills, sebelumnya tertulis Oxford University dan C. Stuart Mills.