Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Wali Kota Medan Bobby Nasution mendukung kepolisian untuk menembak mati begal di tempat.
Dukungan sang wali kota sama dengan dorongan bagi kepolisian untuk melakukan pembunuhan di luar keputusan pengadilan (extrajudicial killing).
Penembakan penjahat seharusnya menjadi opsi terakhir dan hanya untuk melumpuhkan, bukan mematikan.
PERNYATAAN Wali Kota Medan Bobby Nasution yang mendukung kepolisian untuk menembak mati begal di tempat sungguh berbahaya. Dukungan sang wali kota bisa diartikan sebagai dorongan bagi kepolisian untuk melakukan pembunuhan di luar keputusan pengadilan (extrajudicial killing) yang merupakan pelanggaran serius atas hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bobby menyatakan dukungan kepada polisi untuk menembak begal dalam acara pemaparan kasus di Kepolisian Resor Pelabuhan Belawan, Medan, pada Kamis, 6 Juli 2023. Empat hari kemudian, melalui akun media sosialnya, menantu Joko Widodo itu secara terbuka menyampaikan apresiasi atas tindakan aparat Polrestabes Medan yang menembak mati seorang begal. Padahal, sebagai seorang wali kota, salah satu tanggung jawab Bobby adalah memastikan seluruh warganya, termasuk pelaku kejahatan sekalipun, mendapat perlindungan hak asasi mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penembakan di tempat oleh kepolisian sangat berpotensi melanggar HAM. Setiap orang yang diduga melakukan kejahatan harus dibuktikan dulu di pengadilan, sebelum mendapat hukuman yang sepadan dengan kejahatannya. Seseorang yang diduga melakukan kejahatan, termasuk yang menyandang status residivis alias penjahat kambuhan sekalipun, berhak membela diri dalam persidangan. Jika pelaku kejahatan ditembak mati sebelum diadili, hak dia untuk membela diri dan memperoleh keadilan telah diberangus secara semena-mena.
Di kepolisian sendiri, penggunaan senjata api untuk melumpuhkan pelaku kejahatan tidak boleh serampangan. Peraturan Kepolisian Nomor 1 Tahun 2009 menyebutkan bahwa penembakan hanya boleh dilakukan sebagai upaya terakhir, dalam kondisi terdapat ancaman yang bisa menyebabkan luka parah atau kematian anggota kepolisian atau masyarakat. Senjata api hanya boleh digunakan ketika polisi tidak memiliki alternatif lain untuk menghentikan tindakan pelaku kejahatan. Itu pun, penembakan seharusnya hanya ditujukan untuk melumpuhkan, bukan mematikan.
Namun, dalam praktiknya, sering kali prosedur penggunaan senjata api itu dilanggar. Banyak kasus pelaku kejahatan yang sengaja ditembak mati di tempat, meski sebetulnya tidak mengancam keselamatan jiwa polisi atau orang di sekitar kejadian. Berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), sepanjang Juli 2022 hingga Juni 2023, terjadi setidaknya 29 peristiwa extrajudicial killing yang menewaskan 41 orang. Kasus-kasus extrajudicial killing tersebut mayoritas berupa penembakan oleh aparat tanpa proses pengadilan.
Maraknya pembegalan atau perampokan dengan kekerasan tentu saja meresahkan masyarakat. Namun tugas seorang wali kota bukanlah mendorong polisi melakukan tembak di tempat. Seorang wali kota semestinya berfokus melakukan pencegahan kejahatan dengan pelbagai cara. Misalnya memasang banyak kamera pengawas (CCTV) yang terkoneksi dengan kantor-kantor kepolisian setempat, memperbanyak lampu-lampu penerangan di setiap sudut kota, sampai menghidupkan sistem keamanan lingkungan masyarakat.
Bobby semestinya segera meminta maaf dan mencabut pernyataannya yang berbahaya. Selanjutnya, dalam memberantas kejahatan apa pun, kepolisian Medan harus mematuhi aturan dan prosedur penggunaan senjata api serta menghormati hak asasi manusia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo