Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim ekonomi Presiden Joko Widodo harus menghitung ulang efektivitas Lembaga Pengelola Investasi (LPI), yang diklaim mampu menarik dana besar dari luar negeri. Selain soal waktu yang banyak diragukan, kalkulasi matang diperlukan agar rencana baik itu tidak menjadi bumerang bagi iklim investasi di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah berharap lembaga yang dibentuk melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2020 itu mampu menarik investasi asing hingga Rp 281 triliun. Target itu ibarat menggantang asap jika melihat kondisi perekonomian dunia yang tengah porak-poranda dihantam pandemi Covid-19. Semakin suram jika ditambah faktor tata kelola pemerintahan kita yang masih jauh dari baik. Pengungkapan sejumlah perkara korupsi besar yang melibatkan pembantu Presiden, belakangan, bisa menjadi penanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Publik sulit tutup mata soal kekhawatiran bahwa LPI akan mengulang sejarah gelap 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Serupa dengan harapan Indonesia, awalnya lembaga investasi itu diharapkan bisa menyedot investasi dari banyak negara untuk membiayai infrastruktur di Malaysia. Alih-alih mendatangkan manfaat, lembaga ini malah menjadi ladang megakorupsi senilai US$ 4,5 miliar oleh para pengelola dan rezim yang berkuasa. Bekas Perdana Menteri Malaysia Najib Razak divonis bersalah dalam kasus korupsi 1MDB dan kredibilitas negeri jiran itu pun ikut rontok di mata dunia internasional.
Tak bisa dimungkiri, pendirian LPI tidak bisa dilepaskan dari peran sentral Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang bergerilya ke negara-negara sahabat demi mengumpulkan komitmen investasi. Ia bahkan menemui Presiden Amerika Serikat kala itu, Donald J. Trump. Namun gerilya dan lobi-lobi itu tidak bisa menjadi faktor tunggal dan mengabaikan pengkajian mendalam soal untung-rugi pendirian LPI. Paling dekat, misalnya, apakah “deal” bisnis dengan Trump tetap sejalan dengan kebijakan ekonomi Joseph Robinette Biden Jr., Presiden Amerika Serikat yang baru?
Belum adanya perjanjian yang mengikat dari negara-negara lain yang menjadi target juga harus dihitung mendalam. Ketidakjelasan keuntungan finansial yang bisa mereka dapatkan bisa dengan mudah menjadi alasan untuk membatalkan janji mengguyur Indonesia dengan uang besar.
Presiden Jokowi harus belajar dari janji manis pemimpin Arab Saudi Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud, yang sempat menyatakan akan menggelontorkan investasi senilai Rp 332 triliun ke Indonesia. Nyatanya, dana modal yang masuk hanya Rp 89 triliun.
Kecemasan bahwa LPI akan menjadi persoalan besar pada masa mendatang ditambah dengan latar belakang para kandidat yang didapuk menjadi pemimpin lembaga tersebut. Mayoritas rekam jejak mereka lebih kental dekat dengan penguasa ketimbang ahli dalam mengurus lembaga investasi.
Mumpung nasi belum menjadi bubur, perlu langkah berani dari Presiden untuk memutuskan menunda beroperasinya lembaga ini. Sembari menunggu waktu yang pas, menyiapkan sistem pengawasan yang efektif dan mencari orang yang kapabel sebagai pengelola jauh lebih produktif ketimbang bergegas dan kemudian menyesal di kemudian hari.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo