Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kenaikan harga minyak sama sekali bukan urusan tentara.
Kehadiran tentara di pasar-pasar hanya akan menakuti para pedagang.
Tugas personel militer hanyalah mengurus masalah pertahanan dan keamanan.
Inspeksi mendadak Jenderal Dudung Abdurachman untuk memantau harga minyak goreng sungguh tak patut dilakukan. Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu seharusnya sadar betul, kenaikan harga minyak sama sekali bukan urusan tentara. Dudung telah terlampau jauh masuk ke ranah sipil. Kunjungan itu justru menguatkan kesan bahwa dwifungsi militer seperti pada masa Orde Baru telah bangkit kembali.
Dudung mengunjungi Pasar Induk Kramat Jati pada Rabu, 1 Juni 2022. Ia mengaku menjalankan instruksi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan agar Angkatan Darat membantu pemerintah daerah dan kepolisian memastikan ketersediaan minyak goreng dengan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 14 ribu per liter atau Rp 15.500 per kilogram.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia memang membuka peluang bagi presiden untuk mengerahkan tentara dalam urusan sipil. Namun pengerahan itu hanya bisa dilakukan dalam kondisi genting. Pelibatan TNI dalam urusan sipil pun harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Untuk urusan minyak goreng, jelas tak ada kegentingan yang memaksa buat menghadirkan tentara.
Melibatkan militer untuk menekan harga minyak goreng yang jauh di atas HET adalah keputusan ngawur dan sia-sia. Kehadiran tentara di pasar-pasar hanya akan menakuti para pedagang. Para penjual minyak goreng tak mungkin menuruti kemauan pemerintah selama harga yang mereka dapatkan dari distributor di atas HET. Pelibatan tentara justru menunjukkan pemerintah tidak mampu lagi membenahi persoalan harga minyak goreng di hulu dan hilir.
Sebagai purnawirawan jenderal, Luhut seharusnya paham sudah bukan waktunya lagi menyeret tentara ke dalam urusan sipil. Tugas personel militer hanyalah mengurus masalah pertahanan dan keamanan. Instruksi Luhut justru akan menjauhkan profesionalitas tentara sekaligus melemahkan supremasi sipil. Sudah selayaknya Luhut mencabut instruksinya dan menghentikan berbagai upaya memberikan kewenangan yang terlalu jauh bagi tentara.
Begitu pula Dudung, sebagai mantan Gubernur Akademi Militer, tempat mendidik tentara profesional, harus berhenti melibatkan diri dan anak buahnya dalam urusan sipil. Apalagi ini bukan pertama kali ia bertindak serampangan. Saat menjadi Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta, dua tahun lalu, ia memerintahkan anak buahnya mencabut baliho milik Front Pembela Islam. Dudung nyata-nyata masuk dalam ranah politik praktis dengan melibas kelompok penentang penguasa.
Pemerintah kini harus menyetop aksi ugal-ugalan membenamkan tentara dalam berbagai urusan sipil. Selama ini Presiden Joko Widodo mendiamkan atau malah memberikan restu terhadap berbagai upaya mendestruksi profesionalitas tentara. Misalnya melibatkan tentara dalam penanganan Covid-19, bahkan mengawasi penerapan protokol kesehatan. Rasanya, sulit mengharapkan Jokowi menjaga tentara tetap di baraknya.
Semakin lama, Jokowi semakin jauh menarik tentara dan polisi ke dalam politik praktis. Akhir Mei lalu, ia menyetujui perwira TNI aktif, Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Ani Chandra As'aduddin, menjadi penjabat Bupati Seram Bagian Barat. Pemerintah pun bergeming ketika protes menderas. Bibit beracun bagi demokrasi yang mengembalikan dwifungsi tentara sedang tumbuh subur di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo