Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

‘Kutukan Periode Kedua’ Jokowi

Dalam enam tahun pemerintahan Jokowi, ruang partisipasi publik menyempit. Terlalu dini menyiapkan dinasti.

24 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
‘Kutukan Periode Kedua’ Jokowi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN Joko Widodo seperti tengah terkena “kutukan masa jabatan kedua”. Pada tahun pertama periode kedua pemerintahannya, di mata para ahli politik dan media internasional, demokrasi Indonesia terus mengalami kemerosotan. Di tengah pandemi, perlawanan mahasiswa, buruh, dan kelompok masyarakat sipil terhadap pemerintah malah menguat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para ahli politik di Amerika Serikat kerap memakai istilah “second-term curse” itu untuk merujuk pada masa jabatan kedua seorang presiden yang kurang sukses, diwarnai skandal besar, atau ditandai bencana yang dahsyat. Tentu saja “kutukan” itu bukan dalam arti harfiah. Yang terjadi, pada periode kedua, ada kecenderungan presiden lebih sibuk mengamankan diri dan masa depan keluarganya ketimbang memperhatikan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Dorongan untuk mencari aman itu kadang sampai menyeret sang presiden dalam skandal di ujung masa jabatannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejauh ini, belum terungkap bahwa Jokowi terlibat dalam skandal apa pun. Gejala yang baru muncul, sebelum kehilangan kekuasaan, Jokowi telah mendorong anaknya, Gibran Rakabuming Raka, dan menantunya, Bobby Nasution, maju dalam pemilihan Wali Kota Solo dan Medan. Jokowi seperti tak sabar untuk membangun dinasti politik sampai dia meninggalkan istana.

Pemerintahan Jokowi pun makin kurang peka terhadap aspirasi masyarakat. Ruang partisipasi publik menyempit. Gelombang unjuk rasa mahasiswa, buruh, dan kelompok masyarakat dalam beberapa pekan terakhir terjadi karena Jokowi kurang mendengarkan tuntutan mereka yang menolak Undang-Undang Cipta Kerja. Sejak awal penyusunan omnibus law itu, Jokowi lebih mendengar suara pengusaha yang menginginkan kemudahan investasi tapi tak mau bertanggung jawab atas kesejahteraan buruh dan kelestarian lingkungan.

Setelah enam tahun berkuasa, Jokowi juga makin menunjukkan pelbagai kontradiksinya. Pada pemilihan presiden 2014, ia menang dengan tiket sebagai pemimpin yang dianggap merakyat, bersih dari korupsi, dan pekerja keras. Jokowi yang rajin blusukan menemui calon pemilih sukses menerabas sekat sirkulasi elite politik di Jakarta. Namun, pelan tapi pasti, citra positif itu mulai terkikis ketika dia melakukan pelbagai kompromi politik dengan kaum oligark yang mengelilinginya. Kompromi politik yang paling nyata adalah ketika Jokowi memasukkan lebih banyak orang partai ke kabinetnya ketimbang mereka yang berlatar belakang profesional.

Jokowi memang memenangi lagi pemilihan presiden 2019. Tapi itu bukan karena performanya yang sempurna sepanjang lima tahun pertama, melainkan lantaran lawannya orang yang sama: Prabowo Subianto.

Mengklaim berasal dari kalangan orang “biasa”, Jokowi kini makin kokoh di puncak piramida elite politik. Dia telah merangkul hampir semua kekuatan politik untuk menjadi pendukungnya. Di Dewan Perwakilan Rakyat, nyaris tak ada kekuatan pengimbang yang bisa mengawasi kekuasaan Presiden. Dari luar gedung parlemen, sementara itu, Jokowi juga berhasil mengkooptasi para aktivis—yang terbukti gagal “mengawal kekuasaan dari dalam”.

Sisi suram lain, pada periode kedua jabatan Jokowi, suara kritis pun makin sering dibungkam. Aparat kian serampangan mengkriminalkan mereka yang berseberangan dengan pemerintah. Pada saat yang sama, Jokowi cenderung diam ketika aparat menyeret orang yang dianggap menghina sang Presiden.

Kini bukan hanya barisan oligark yang harus disalahkan. Jokowi pun bertanggung jawab atas kemerosotan demokrasi Indonesia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus