Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IKHTIAR pemerintah membentuk lembaga pengelola investasi seperti melawan arus di tengah gejolak pasar. Saat investor banyak yang memilih tiarap akibat ketidakpastian perekonomian global, rencana pendirian badan baru yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini bisa menjadi bumerang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu yang menjadi sorotan adalah modal yang harus pemerintah sediakan. Selain menginjeksi penyertaan modal negara sebesar Rp 15 triliun, pemerintah secara bertahap akan mengalihkan aset negara, termasuk saham dan piutang kepada perusahaan pelat merah, sebagai modal awal. Totalnya mencapai Rp 75 triliun. Teknis pengalihan aset ini mesti dilakukan hati-hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa perhitungan matang, pengelolaan investasi yang sebagian bersumber dari aset negara itu bisa berujung pada kerugian. Apalagi, di tahap awal, badan baru ini masih bertumpu pada anggaran negara yang bisa jadi berasal dari komponen utang. Artinya, pemerintah masih harus mengembalikan biaya modal yang bersumber dari pinjaman. Risiko moral hazard juga muncul karena pengelolaan dana tersebut kelak tidak tersentuh audit negara.
Persoalan berikutnya: bagaimana pemerintah dapat memastikan lembaga baru itu bisa meraup investasi dari luar hingga Rp 225 triliun atau tiga kali lipat ekuitasnya—seperti yang selama ini didengungkan. Di tengah situasi yang serba tidak pasti akibat pandemi Covid-19, mencari investor asing yang benar-benar mau membenamkan uang untuk dikelola lembaga baru bukan perkara gampang.
Sejumlah investor, seperti putra mahkota Uni Emirat Arab, Mohammed bin Zayed, memang pernah menyanggupi untuk mencurahkan investasi US$ 22,8 miliar melalui sovereign wealth fund. Tapi janji itu baru sebatas komitmen yang belum jelas hitam di atas putihnya.
Badan pengelola investasi ini memang akan lebih banyak bertumpu pada aliran dana dari luar. Model seperti ini sesungguhnya mudah layu di tengah jalan karena pemilik modal bisa sewaktu-waktu menarik duitnya. Konsep ini berbeda dibanding lembaga serupa di Norwegia, Cina, atau Singapura, yang mengandalkan kekayaan negara seperti cadangan devisa, akumulasi surplus perdagangan, dan penerimaan hasil ekspor sumber daya alam. Dana kekayaan ini yang dikelola secara komersial supaya hasilnya optimal.
Masalahnya, mengelola dana investasi secara komersial demi memburu imbal hasil jelas berisiko tinggi. Hukum besi berlaku di sini: makin tinggi tingkat pengembalian investasi, makin besar risiko yang dihadapi. Temasek Holdings Singapura mengalami pengalaman pahit ini pada 2008. Akibat terlalu agresif, Temasek rugi US$ 39,91 miliar. Sampai saat ini, tidak pernah ada kejelasan kenapa Temasek rugi dan siapa yang harus bertanggung jawab, selain alasan krisis ekonomi yang selalu menjadi kambing hitam.
Pada akhirnya semua kembali kepada cara suatu rezim mengelola pemerintahan. Sejumlah studi menunjukkan lembaga pengelola investasi hanya akan berhasil bila diurus oleh orang-orang yang bermoral tinggi. Keberhasilan itu juga ditopang oleh taatnya dunia usaha pada kode etik serta mekanisme pemerintahan yang bersih. Tiga elemen tersebut sulit kita temukan di Indonesia akhir-akhir ini.
Tanpa transparansi, keputusan-keputusan pengelolaan investasi rentan dimanipulasi. Contoh konkret terjadi pada 1Malaysia Development Berhad (1MDB). Dari pengelolaan dana bertahun-tahun, mantan Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, menerima fulus US$ 681 juta. Sementara itu, 1MDB terjebak utang US$ 11 miliar.
Studi Bocconi University, New York University, dan London School Economics menunjukkan era keemasan lembaga pengelola investasi sudah pudar. Pandemi Covid-19 turut memperburuk keadaan. Pengalaman pahit sejumlah negara mengelola lembaga investasi seharusnya membuat kita memetik pelajaran.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo