Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JANGAN heran jika alat utama sistem persenjataan militer negeri ini tak pernah naik kelas. Anggaran triliunan rupiah untuk membeli pesawat, helikopter, tank, hingga radar dan senapan bisa dengan mudah bocor ke banyak kantong. Mekanisme pengawasan seadanya plus sistem peradilan yang memberikan keistimewaan kepada tentara membuat korupsi di tubuh militer jadi tak tersentuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesimpulan itu diperkuat oleh temuan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap pengadaan pesawat CN-235 dan helikopter Bell 412EP serta sejumlah proyek pengadaan alat militer oleh PT Dirgantara Indonesia selama 2008-2018. Sejumlah mantan anggota direksi perusahaan itu sudah menjadi tersangka dan ditahan. Pekan lalu, berkas perkara yang merugikan negara hingga Rp 303 miliar ini dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk disidangkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama satu dekade, tak kurang dari Rp 178,9 miliar mengalir dari PT Dirgantara Indonesia, via sejumlah perusahaan perantara, ke rekening bank milik ratusan perwira—dari letnan kolonel hingga marsekal, laksamana ataupun jenderal. Ada juga nama-nama pejabat negara di Kementerian Pertahanan dan beberapa kementerian lain. Jumlah yang diterima setiap orang bervariasi, dari puluhan juta hingga miliaran rupiah, tergantung pangkat dan jabatannya.
Sebagian jenderal itu masih aktif, sisanya sudah pensiun meski masih ada yang menjabat posisi lain di pemerintahan. Nama-nama perwira Tentara Nasional Indonesia dari Angkatan Darat, Laut, ataupun Udara terpampang jelas dalam daftar penerima komisi proyek tersebut. Namun, ironisnya, tak ada satu pun yang dinyatakan sebagai tersangka.
Korupsi kadang seperti kentut. Baunya menusuk tapi pelakunya selalu bisa berkelit. Analogi ini cocok untuk menggambarkan praktik korupsi di lembaga militer. Dengan bukti-bukti suap yang terang-benderang sekalipun, menyeret para penerimanya ke pengadilan bukan urusan gampang. Meski Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi masih memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengkoordinasi penyidikan kasus korupsi yang melibatkan anggota militer, proses itu harus dilakukan bersama polisi dan oditur militer.
Selama Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer belum direvisi, penyidik sipil seperti KPK tak akan pernah bisa leluasa menyidik kasus-kasus korupsi di tubuh militer. Terbongkarnya kasus korupsi pengadaan satelit di Badan Keamanan Laut dan suap pembelian helikopter AgustaWestland 101 di TNI Angkatan Udara, misalnya, tak sampai menyentuh pucuk pimpinan di sana. Terlebih dengan KPK yang mandul seperti sekarang, membersihkan militer dari praktik korupsi seperti menegakkan benang basah.
Tentara Nasional Indonesia yang bersih dari praktik rasuah bakal membawa efek berlipat yang positif. Belanja alat utama sistem persenjataan yang bebas suap, misalnya, pasti meningkatkan kualitas pertahanan negara. Dengan anggaran yang dibelanjakan secara efisien, alokasi untuk peningkatan kesejahteraan para prajurit, purnawirawan, dan veteran bisa ditambah. Konflik yang muncul akibat berebut aset rumah dinas tentara, misalnya, bisa diminimalkan.
Apalagi alokasi anggaran Kementerian Pertahanan yang mencapai Rp 137 triliun pada 2021 adalah yang kedua terbesar setelah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Tanpa transparansi dan mekanisme pengawasan yang baik, janji Menteri Pertahanan Prabowo Subianto membereskan berbagai kejanggalan dalam mekanisme pengadaan senjata di Indonesia hanya akan jadi retorika kosong.
Perbaikan mendasar juga perlu menyentuh industri alat utama sistem persenjataan kita. Selama bertahun-tahun, badan usaha strategis seperti PT Dirgantara Indonesia kerap mengalami kesulitan finansial. Tanpa tata kelola yang baik dan penerapan prinsip bebas korupsi, menyelamatkan perusahaan semacam itu tentu jadi mustahil.
Kasus suap PT Dirgantara ini telah mencoreng wajah TNI dan Kementerian Pertahanan. Namun, ketimbang saling tuding dan menyalahkan, lebih baik para petinggi militer mulai berbenah diri. Panglima dan pimpinan semua matra TNI perlu menyegarkan kembali makna Sapta Marga untuk jajarannya. Kalau perlu, sumpah prajurit itu bisa ditambah satu pasal: tidak boleh menerima suap dan melakukan korupsi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo