Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Jangan Rem Tes Usap

Pemerintah pusat keliru meminta daerah mengurangi jumlah swab test. Kepercayaan dunia kepada Indonesia bisa kian turun. 

16 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengambilan sampel pada tes usap COVID-19 di Jakarta, 23 Oktober 2020. ANTARA/Hafidz Mubarak A

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sungguh keliru rencana pemerintah mengurangi uji usap polymerase chain reaction (PCR).

  • Penghematan anggaran tidak boleh menjadi alasan untuk mengendurkan kebijakan tes usap.

  • Tes usap yang masif merupakan salah satu penentu kesuksesan menekan angka penderita Covid-19.

Sungguh keliru rencana pemerintah mengurangi uji usap polymerase chain reaction (PCR) di negeri ini. Sebagai kunci pertama penanggulangan pagebluk Covid-19, swab test justru harus diperbanyak. Jangan pernah ada kata “terlalu banyak” untuk melakukan pengujian secara massal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Permintaan kepada pemerintah daerah untuk mengefisienkan anggaran penanganan pandemi, termasuk uji seka, disampaikan Ketua Satuan Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo pada Ahad, 13 Desember lalu. Doni meminta pengujian disesuaikan dengan standar Badan Kesehatan Dunia, yaitu 1 orang per 1.000 penduduk setiap pekan. Secara khusus, Doni menyebutkan soal pengujian di Jakarta yang mencapai hampir 90 ribu orang, jauh melebihi ketentuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Niat pemerintah mengurangi jumlah tes itu dilontarkan saat kasus harian di Ibu Kota masih tinggi. Pada Selasa, 14 Desember kemarin, tercatat lebih dari seribu kasus harian baru di DKI. Jakarta pun memiliki kasus terbanyak, yakni sekitar 152 ribu atau hampir 25 persen dari angka nasional. Hari itu juga, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan menginstruksikan Gubernur DKI Anies Baswedan untuk memperketat pembatasan sosial berskala besar.

Pengujian jelas diperlukan untuk mengetahui penyebaran kasus positif. Dari situ, pemerintah dan pemerintah daerah bisa melakukan pelacakan (tracing) dan pengobatan (treatment). Dengan masifnya pengujian, pelacakan bisa lebih mudah dilakukan, sehingga penyebaran virus bisa dilokalisasi dan diantisipasi. Tanpa pengujian yang masif, permintaan Doni Monardo justru bisa menjadi bumerang: pemerintah bakal kesulitan mendeteksi jumlah penderita Covid-19. Ujung-ujungnya, penyebaran corona bakal lebih meluas.

Secara nasional pun, pemerintah belum bisa memenuhi standar WHO sebanyak 267 ribu tes per pekan. Akhir November lalu, Indonesia baru bisa mengadakan 238 ribu tes tiap minggu. Indonesia pun menempati posisi sepuluh negara yang jumlah pengujiannya paling sedikit. Pengurangan jumlah tes justru bisa dianggap sebagai upaya pemerintah menutupi jumlah pengidap corona yang sebenarnya. Sejumlah negara, termasuk Malaysia, masih melarang penduduk kita berkunjung ke sana karena ketidakpercayaan terhadap penanganan Covid-19.

Penghematan anggaran tidak boleh dijadikan alasan untuk mengendurkan kebijakan tes usap PCR, pengujian dengan akurasi tertinggi. Jika ingin berhemat, pemerintah justru harus membenahi pengujian yang diselenggarakan oleh berbagai institusi. Di sinilah terjadi pemborosan karena tes kerap dilakukan berulang dengan metode yang tidak akurat.

Tes usap yang masif merupakan salah satu penentu kesuksesan menekan angka penderita Covid-19. Sudah saatnya pemerintah lebih serius membenahi data penderita Covid-19 dan tidak mengurangi angkanya dengan cara yang salah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus