Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ekonom UI, dari Pemerintah ke Masyarakat

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M. Sadli*)
*) Pengamat ekonomi

MEREKA tidak ada di pemerintahan sebagai menteri. Anwar Nasution dan Miranda Goeltom ada di Bank Indonesia, dan Djunaedi Hadisumarto masih pegang Bappenas, akan tetapi mereka itu bukan menteri. Apa perlu jadi menteri agar bisa melakukan peran penting? Ya dan tidak. Kalau Menko Ekuin, Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan Ketua Bappenas semuanya dari satu kubu mazhab, hal ini memudahkan pembuatan kebijakan. Keadaan demikian pada zaman Orde Baru terjadi ketika Widjojo Nitisastro masih "lurahnya".

Sekarang Menko Ekuin bukan dari UI, bukan dari Gadjah Mada, melainkan dari Universitas Boston. Menteri Keuangan bukan ekonom. Kedua pejabat tinggi ini pilihan pribadi Gus Dur, yang sewaktu menyusun kabinet barunya mementingkan loyalitas dan kepatuhan. Kalau ia pilih "kelompok", UI atau Gadjah Mada, mungkin loyalitas utama para menteri itu akan kepada kubunya, atau kepada profesinya.

Pertimbangan Gus Dur sangat masuk akal, akan tetapi tidak otomatis menjamin kelangsungan hidup politik yang panjang baginya. Kurs rupiah sekarang lebih dekat ke Rp 9.000, sebelum kabinet baru sekitar Rp 8.000. Kurs nostalgia RAPBN 2001 Rp 7.300. Semua ini tidak bebas dari ketidakpastian yang diciptakan oleh pilihan-pilihan politik Gus Dur.

Rizal Ramli rupanya memilih jalan sendiri dan mengambil jarak terhadap ekonom UI. Ekonom UI yang dominan pada zaman Orde Baru itu dilihat sebagai salah suatu penyebab krisis ekonomi. Mereka gemar berdekatan dengan IMF dan Bank Dunia, tidak terlalu mengindahkan ekonomi kerakyatan, dan terlalu mengkampiunkan globalisasi, perdagangan, serta pasar yang bebas.

Sedangkan sekarang wacana yang tampak lebih populer adalah yang mau melepaskan diri dari genggaman IMF, yang mau mengurangi utang luar negeri, yang mau memberdayakan ekonomi rakyat kecil, melindungi pengusaha nasional dari keganasan persaingan global, yang mau melakukan industrial policy dengan menjagokan beberapa konglomerat.

Apakah produktif dan membantu untuk menggambarkan pilihan pokok kebijakan ekonomi secara hitam-putih seperti di atas? Tidak! Dalam praktek sehari-hari, segalanya kabur dan rancu. Kalau Rizal Ramli dan Menteri Keuangan mau lebih melepaskan diri dari genggaman IMF, mengapa Rizal segera menandatangani LoI baru? Mengapa mereka pergi ke pertemuan Bank Dunia dan IMF di Praha, lalu terbang ke Washington DC untuk melobi? Mengapa Rizal menegaskan sekali lagi di Singapura bahwa Indonesia akan melucuti milisi di Atambua, kalau itu tidak ada hubungan dengan pertemuan CGI di Tokyo?

Dalam istilah politik bahasa Inggris ada yang dikenal sindrom grand standing and posturing (gagah-gagahan di podium) untuk publik dalam negeri. Apakah gejala ini terulang di Jakarta? Kalau begitu, apa yang salah dengan sentimen politik dalam negeri? Apakah elite politik di DPR dan redaksi media massa tidak punya akal sehat? Kiranya bukan itu soalnya, akan tetapi everybody is grandstanding, dan para menteri, bahkan presiden pun, tidak bisa ketinggalan.

Juga tidak mutlak benar membedakan ekonom UI daripada ekonom lainnya. Ada kubu Gadjah Mada yang juga amat profesional. Di antara para ekonom senior, Djiwandono, Budiono, dan Mooy adalah ekonom Gadjah Mada. Di antara ekonom generasi muda, garis pemisah antara UI dan Gadjah Mada, atau yang lainnya, juga tidak berpengaruh. Ada Sri Mulyani dari UI dan ada Sri Adiningsih dari UGM, ada Faisal Basri dari UI dan ada Anggito Abimanyu dari UGM. Di CSIS ada Djisman Simandjuntak, Hadisusastro, Mari Pangestu, dan Pande Silalahi. Wacana ekonomi mereka kurang lebih sama.

Ada kalangan yang menuduh bahwa krisis ekonomi (juga) disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang diperjuangkan ekonom UI, seperti liberalisasi perbankan, rezim devisa yang bebas mutlak, dan kurang mampunya para menteri ekonom UI melawan pengaruh buruk putra dan kroni Soeharto. Yang terakhir ini sindrom guilt by association (ikut berdosa karena hubungan dekat).

Di lain pihak, cobalah sekarang pergi ke daerah-daerah. Banyak daerah yang sudah keluar dari cengkeraman krisis ekonomi. Kebangkitan kembalinya dipermudah oleh infrastruktur yang banyak dibangun selama Orde Baru, seperti jalan raya aspal hotmix, listrik masuk desa, irigasi, telepon, pelabuhan laut, bandar udara, juga berbagai inpres pembangunan.

Pada zaman Orde Baru, pendidikan dasar amat diperluas, begitu pula sekolah menengah. Karena kemakmuran meningkat, universitas swasta, yang swasembada, menjamur di semua provinsi. Kualitas pendidikan mungkin jelek, tetapi bisa memberi perbekalan untuk meningkatkan produktivitas. Lulusan sekolah Indonesia adalah SDM yang trainable, yang bisa ditingkatkan. Kualitas SDM ternyata bisa melandasi kenaikan produktivitas di pertanian dan memasok tenaga kerja untuk industrialisasi. Tidak semua yang ditinggalkan Orde Baru jelek.

Dewasa ini, generasi tua ekonom UI sudah pensiun. Generasi muda adalah Anwar Nasution, Miranda Goeltom, Sri Mulyani, Faisal Basri, dan sebagainya, yang jauh lebih banyak. Banyak yang bekerja sebagai birokrat-teknokrat di Departemen Keuangan, Bappenas, Bank Indonesia, dan sebagainya. Birokrat top ini bisa memainkan peranan yang sangat penting, seperti di Jepang. Presiden boleh datang dan pergi, menteri silih berganti, tetapi birokrasi inti tetap menjaga gawang dan menjamin kontinuitas. Siapa yang menulis pesan pemerintah menghantarkan RAPBN 2001? Mereka. Siapa yang mendukung Menteri Keuangan menjawab parlemen? Mereka. Mereka hanya setia kepada negara dan kepada misinya. Tanpa mempersoalkan siapa menterinya.

Tetapi, bangsanya Sri Mulyani dan teman-temannya yang dulu di DEN kini seolah-olah tunakarya, tunatugas, atau tunamisi. Kelompok yang sekarang ada di luar pemerintah ini bukan hanya alumni FEUI. Sebagian dari Gadjah Mada, dari CSIS, dan sebagainya. Maka, kubu universitasnya tidak terlalu penting lagi. Yang lebih penting adalah kesamaan "wawasan". Di luar pemerintah, mereka masih bisa menjalankan suatu misi penting, yakni "pendidikan masyarakat" untuk berpikir rasional mengenai masalah ekonomi. Sudah beberapa lama mereka ini juga terlibat dalam "sosialisasi" masalah pelaksanaan otonomi daerah. Ini usaha untuk public education in economic policy yang sekarang dibawa ke tingkat daerah.

Saya tanyakan Dr. M. Iksan, "Ekonom UI sekarang di mana? Ia jawab, "Kembali ke kampus."

Jenderal MacArthur pernah mengatakan, "Old soldiers never die, they only fade away." Suatu variasi untuk Indonesia adalah: "Ekonom pemerintah (termasuk DEN) tak pernah lengser, mereka hanya pindah misi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum