Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menemukan Diri Kembali sebagai Manusia dan Anak Bangsa

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nani Nurracman Sutojo *)
*)Staf Pengajar Fakultas Psikologi UI dan Atma Jaya, putri (alm.) Brigjen Sutojo, yang dibunuh di Lubangbuaya pada 1965.

DI antara kegiatannya sebagai kolumnis dan novelis, Simon Wiesenthal terkenal dengan kegiatan perburuannya terhadap anggota Nazi yang telah melakukan kejahatan pembantaian orangorang Yahudi selama Perang Dunia II. Dalam salah satu novelnya yang berjudul The Sunflower, diceritakan seorang Yahudi yang ternyata Simon sendiri datang ke pembaringan seorang Nazi yang sedang menghadapi sakratul maut. Merasa amat bersalah, Nazi ini meminta dengan sangat agar Simon mau memaafkan dirinya. Untuk beberapa saat Simon bergumul dengan perasaan benci dan iba, tetapi kemudian ia meninggalkan tempat itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Simon mengajak pembaca untuk melihat ke dalam diri masingmasing untuk menjawab pertanyaan "apa yang Anda lakukan bilamana berada di tempat saya?"

Cerita di atas, yang saya baca pada awal 1990, mengingatkan saya kepada suatu peristiwa yang terjadi pada 1986, beberapa bulan setelah saya sekeluarga kembali ke Tanah Air dari Amerika Serikat. Saat itu, dalam usia delapan tahun, anak saya menonton film G30S-PKI, yang selalu ditayangkan setiap tanggal 30 September, dari awal hingga akhir tanpa beranjak dari tempat duduknya. Begitu film selesai, ia bertanya, "Ma, what is a communist? Was it them who killed Eyang Toyo?" Untuk beberapa saat saya terhenyak karena tidak mengira pertanyaan semacam itu keluar dari dirinya. Saat itu perasaan saya terusik, merasa digugah dan digugat. Bagi anak dengan usia ini tentu diperlukan jawaban yang sesuai dengan kemampuan penalaran dan daya tangkapnya. Selain itu, pandangannya tentang dunia manusia belum mencapai taraf pengertian tentang kehidupan manusia yang banyak bernuansa abuabu ketimbang sekadar hitamputih. Realita sosial manusia lebih kompleks daripada the good and the bad guys seperti yang kerap dilihatnya di film-film televisi ketika tinggal di Amerika Serikat. Lagi pula, masih menjadi pertanyaan bagi saya sendiri, apakah yang dimaksudkan olehnya: orang komunis atau ideologi komunis.

Tiba-tiba naluri keibuan dan hati nurani saya merasa bahwa apa pun yang saya katakan dan bagaimanapun sikap saya terhadap peristiwa penculikan dan pembunuhan ayah saya di Lubangbuaya, akan memberikan dampak tertentu dalam perjalanan hidupnya kelak dan berimbas kepada masyarakat sekelilingnya. Saya teringat apa yang sering diucapkan oleh salah seorang guru besar saya, Prof. Dr. R. Slamet Iman Santoso, A society to endure as a society is a moral issue of the first rank. Ucapan ini menyadarkan saya bahwa saya mempunyai tanggung jawab moral pada kelangsungan kehidupan masyarakat tanpa mewariskan rasa benci dan dendam.

Dilema moral yang digambarkan oleh Simon dalam novelnya di atas adalah juga dilema moral yang saya rasakan ketika itu, sekalipun berangkat dari peristiwa tragedi yang berbeda. Suatu tragedi adalah pergumulan dengan nasib yang tidak dapat dimenangi, dan tidak akan pernah berlalu karena peristiwanya selalu teringat. Namun, pencarian nilai moral dari suatu tragedi merupakan kecenderungan universal di mana renungan terhadap trauma tragedi itulah harkat kemanusiaan yang sesungguhnya lebih mungkin untuk diangkat dan dirumuskan. Lagi pula, dengan bersikap benci, marah, dan dendam, kita menempatkan harkat dan martabat kemanusiaan diri kita setara dengan mereka yang telah melakukan penyiksaan dan pembunuhan.

Jawaban atas pertanyan anak saya baru dapat saya berikan beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1991, ketika kami sekeluarga berada di Belgia. Dengan latar belakang kejadian runtuhnya tembok Berlin, percobaan kudeta terhadap kepemimpinan Gorbachev di Rusia serta penayangan kembali film JFK karya sutradara Oliver Stone melalui televisi setempat, terjadi dialog bersama tentang kehidupan politik dan karakter manusia dalam konteks sejarah.

Saya juga mengatakan bahwa sejarah itu multidimensional, bisa dilihat dari berbagai macam perspektif. Untuk ini, kita harus bersikap berani terhadap ketakutan kita sendiri bilamana ada perspektif yang berbeda, karena boleh jadi kita tidak akan pernah bisa mendapatkan gambaran yang utuh dan lengkap mengapa, apa sebab, dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Selalu akan ada sisi gelap yang tidak dapat terungkit dan tetap meninggalkan pertanyaan untuk diperdebatkan jawabannya sebagaimana kasus pembunuhan Presiden Amerika Serikat, John Kennedy, pada 1963. Yang penting untuk dipelajari adalah dampak dari peristiwa yang mempunyai nilai historis, yang tampil melalui diri karakter pelakupelakunya bagi kehidupan psike dan kelangsungan sejarah kehidupan bangsanya; bagaimana para pelaku bisa dilihat sebagai pahlawan, pengkhianat, oportunis, bahkan korban nasib karena berada di tempat serta waktu yang tidak menguntungkan tetapi juga bagaimana mereka tetap bisa dan pada akhirnya dilihat sebagai manusia biasa.

Tetap bisa dilihat dan melihat sebagai manusia biasa. Itulah yang terjadi dalam Forum Diskusi Sejarah Bangsa: Mawas Diri Peristiwa September 1965, dalam tinjauan ulang yang diselenggarakan pada 23 September 2000 di Kastil Arenberg, Leuven, Belgia, sewaktu saya hadir dan memberikan pemaparan berupa rekoleksi ingatan dan refleksi pengalaman atas trauma peristiwa G30S-PKI yang saya alami. Pembicara lainnya seperti Sitor Situmorang, Hersri Setiawan, Paul Moedikdo, dan Carmel Budiardjo turut memberikan pandangan dan pengalamannya. Beberapa di antara yang hadir adalah orang yang setelah peristiwa tersebut terjadi tidak kembali pulang ke Tanah Air, termasuk putri D.N. Aidit, yang langsung datang dan menyalami saya setelah saya selesai menyampaikan makalah saya.

Dari berbagai pengalaman yang diutarakan para pembicara, dapatlah dikatakan bahwa rasa sakit dan penderitaan yang dialami tidak mengenal status, posisi, ataupun pangkat yang disandang oleh seseorang; tidak pula dapat dibandingkan apalagi dipertukarkan. Namun, empati tetap dimungkinkan karena kita adalah manusia dan kemanusiaan inilah yang mempertemukan rasa sakit dan penderitaan yang dialami oleh berbagai pihak dalam satu tatanan yang sama. Dari sini pulalah, dimungkinkan penemuan kembali diri sebagai manusia yang tidak berbeda dengan manusia lainnya-dan dialog pun dapat terjadi serta berlangsung antarpribadi secara otentik.

Saya merasakan adanya titik awal dari proses penyembuhan (healing process) sebagai anak bangsa, yang merupakan bagian dari keluarga bangsa Indonesia yang lebih besar, baik dari kalangan pembicara maupun yang hadir. Kehangatan matahari dalam kesejukan cuaca bulan September seakan menyambut suasana yang berkembang; kemegahan kastil yang melambangkan sisasisa kebudayaan Eropa seolaholah membangkitkan kembali perasaan kita sebagai bangsa yang besar. Sikap yang cenderung memaksakan kehendak dari Carmel Budiardjo untuk tidak mau mengakui peranan serta menyalahkan PKI dan menuntut untuk menentukan siapa yang salah agar dibawa ke pengadilan internasional, tenggelam oleh suasana persaudaraan yang timbul. Hal ini dapat dipahami, mengingat Carmel bagaimanapun adalah orang Inggris yang mempunyai jarak terhadap perasaan kekitaan kita sebagai bangsa Indonesia. Lagi pula, yang paling berhak dan mempunyai otoritas moral untuk menuntut kebenaran dan keadilan atas peristiwa G30S-PKI adalah rakyat Indonesia, karena merekalah yang menjadi korban dalam arti kata sesungguhnya.

Yang mengharukan saya adalah bahwa ide penyelenggaraan forum ini datang dari para mahasiswa yang sedang melanjutkan studinya, yang walaupun jauh dari Tanah Air dan sanak keluarga tetap mempunyai kepedulian terhadap nasib dan kesejarahan bangsanya. Sebagai generasi muda bangsa, mereka telah memperlihatkan tanggung jawab moralnya dengan mulai merajut kembali psike bangsa yang terkoyak. Akankah ini diikuti oleh yang lain?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum