Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

PP 10 dan Makna Perkawinan

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nila F. Moeloek*)
*) Ketua Umum Dharma Wanita Persatuan

DALAM Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada pasal 3, jelas dinyatakan bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita pun hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun, undang-undang ini masih memperlihatkan kelemahannya, sehingga Dharma Wanita Pusat memohon kepada pemerintah agar dikeluarkan suatu kebijakan pemerintah. Bentuknya bisa berupa keputusan presiden atau peraturan pemerintah dan berguna sebagai pelengkap undang-undang tersebut. Peraturan tersebut nantinya diharapkan bisa mengatur sanksi-sanksi berat bagi pegawai atau pejabat yang melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang serta mempersulit poligami dan perceraian bagi pegawai Republik Indonesia.

Mengapa Dharma Wanita Pusat mengajukan permintaan tersebut? Alasannya, selama ini, kami banyak menerima pengaduan tentang masalah perlakuan tidak adil dari suami kepada istri dan anak-anaknya yang akhirnya menimbulkan keresahan di dalam keluarga. Maka, tepat pada Hari Kartini, 21 April 1983, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 diundangkan, yang isinya benar melindungi istri dan keluarga pegawai RI pada umumnya dan anggota Dharma Wanita. Pada waktu itu, dibentuk Badan Konsultasi Pelaksanaan (BKP) PP 10/1983 Dharma Wanita Pusat, yang tugasnya antara lain membantu menyelesaikan masalah anggota yang hak-haknya sebagai istri dilanggar. Dalam pelaksanaannya, BKP PP 10/1983 menemui banyak kendala akibat lubang-lubang yang ada dalam PP 10 tersebut. Karena itu, aturan itu diperbarui dengan PP Nomor 45 Tahun 1990.

Waktu berjalan, kemajuan komunikasi makin canggih, era pun berubah. Tapi hakikat perkawinan tidaklah berubah: sebuah ikatan lahir batin seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada dasarnya, peraturan undang-undang perkawinan bertujuan baik, yaitu mencapai kesejahteraan keluarga dan keteraturan dalam bernegara. Hal ini sebagai dasar karena keluarga adalah wahana strategis bagi negara.

Keluarga yang bahagia ini terkait dengan lahirnya bayi sebagai akibat perkawinan. Obyek dalam disiplin ini adalah kehamilan, persalinan, nifas, dan bayi yang baru dilahirkan. Bahkan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menambahkan dalam tujuannya: perlunya jaminan agar setiap wanita hamil dan yang menyusui bayinya dapat memelihara kesehatannya sesempurna-sempurnanya, agar bayi lahir sehat tanpa gangguan apa pun, dan kemudian dapat merawat dan menyusui bayinya dengan baik. Makna dari semua ini, tentunya, dengan mudah ditangkap, diinginkannya generasi mendatang yang berkualitas.

Isi pokok yang menjadi masalah reproduksi manusia, termasuk kesehatan reproduksi pada saat ini, adalah masalah genetika (kelainan bawaan dan penyakit keturunan), pengaturan fertilitas dan kontrasepsi dalam keluarga berencana, masalah infeksi alat reproduksi, termasuk penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual (HIV/AIDS), pengguguran kandungan, dan banyak lagi yang lain.

Kesehatan reproduksi merupakan salah satu masalah utama kesehatan yang dibutuhkan laki-laki dan perempuan. Angka kematian ibu di Indonesia tinggi, mencapai 450 per 100 ribu kelahiran hidup. Secara tidak langsung, mencegah kematian ibu berarti memperbaiki kelangsungan hidup anak-anaknya. Pengalaman di negara maju menunjukkan, dalam jangka panjang, kombinasi antara peningkatan status of women, keluarga berencana, dan peningkatan gizi mempunyai dampak yang paling besar dalam penurunan angka kematian ibu tersebut.

Setelah bayi dilahirkan, tanggung jawab reproduksi banyak ditujukan pada masalah gizi dan imunisasi. Tumbuh kembang bayi penting untuk menjamin kelangsungan reproduksi sehat selanjutnya. Bukankah, seperti apa yang sering dikiaskan, sesungguhnya "bayi adalah ayah dari manusia"?

Di saat anak-anak beranjak besar, masalah reproduksi remaja pun akan banyak membutuhkan perhatian. Untuk itu, diperlukan pengetahuan luas tentang persoalan seks, hormonologi yang penting untuk kelangsungan reproduksi sehat, pertumbuhan, serta masalah kehamilan pada usia remaja. Infeksi seksual menular (IMS) cenderung meningkat dan menimbulkan dampak negatif terhadap keluarga dan keturunannya. Bukankah masalah narkotik dan obat berbahaya (narkoba) erat kaitannya dengan perilaku seks bebas?

Melihat banyaknya permasalahan kesehatan reproduksi di atas, apakah kita masih ingin terjadi pro dan kontra terhadap PP 10 ataupun PP 45? Masih banyak persoalan lain yang ada di Negara Indonesia saat ini. Mengapa inti permasalahan kesehatan reproduksi ini tidak menjadi salah satu sisi untuk memperbaiki ataupun menyempurnakan undang-undang perkawinan? Kesehatan reproduksi dimulai dari bayi sampai menopause dan diterapkan di dalam undang-undang perkawinan dalam usaha memberikan perlindungan terhadap perempuan, mulai praperkawinan sampai menopause, yang dapat melingkupi pula permasalahan gender. PP 10 dan PP 45 sebenarnya bertujuan sama, yaitu ingin melindungi perempuan, sebagai payung bagi kami, kaum perempuan. Memang banyak kekurangan kita sebagai manusia, tapi salah satu karunia Tuhan Yang Mahakuasa dari sekian banyak yang diberikan-Nya kepada kita sebagai manusia adalah akal untuk berpikir dan hati untuk berperasaan.

Berpikir secara rasional akan kita dapati bilamana kita, kaum perempuan, melakukan pemberdayaan, sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik bagi dirinya, memilah dengan bijaksana mana yang hak dan mana yang kewajiban. Kami kaum perempuan tidak hanya ingin menuntut, tapi hendaknya kita bersama kaum pria menyadari betul apa arti tanggung jawab bagi generasi mendatang yang membutuhkan kualitas bangsa, moral, dan tanggung jawab, bukan hanya untuk bersuara kontra. Berpikir secara rasional untuk mendekati kesempurnaan yang bijaksana mungkin merupakan suatu jawaban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum